Bankir Protes Rencana Pajak Baru, Pengusaha Bagaimana?

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah telah menyampaikan draf revisi Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) kepada DPR RI. Pembahasan juga telah dilakukan beberapa kali antar keduanya.

Saat ini pembahasan telah sampai pada tahap dengar pendapat dari para ahli dan badan usaha terkait dengan RUU KUP ini. Dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan para pelaku usaha dan asosiasi serta bank BUMN di tanah air semuanya menolak pemberlakuan beberapa pajak yang ada di RUU KUP.

Diketahui, dalam RUU KUP ini ada lima klaster yang akan dibahas yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Cukai, dan Pajak Karbon.

Penolakan terutama datang terkait dengan penerapan pajak karbon serta naiknya tarif umum Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kenaikan pajak ini dinilai akan semakin memberatkan pelaku usaha terkait pajak karbon dan konsumen terkait kenaikan tarif PPN.

Untuk penetapan pajak karbon, para pelaku usaha dengan tegas menolak dan meminta untuk dikeluarkan dari RUU KUP ini. Setidaknya ada 18 asosiasi yang terdiri dari ratusan pengusaha yang menolak pajak karbon ini.

“Jika melihat dampak dari sisi daya saing dan daya beli, kami memohon kepada komisi XI untuk tidak memasukkan tax carbon di dalam RUU KUP,” ujar Ketua Umum Inaplas Edi Rivai saat rapat dengan anggota dewan yang dikutip Selasa (31/8/2021).

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga menyampaikan dua poin yang menjadi pertimbangan pihaknya mengapa menolak pajak karbon diterapkan.

Pertama, karena akan mengancam daya saing industri keramik. Apalagi industri keramik saat ini digempur oleh produk impor. Dimana pada semester I-2021 impor keramik dari China, India dan Vietnam melonjak hingga 61% dibandingkan tahun sebelumnya.

Kedua, penerapan pajak karbon akan menyebabkan kenaikan biaya produksi, sehingga akan membebani pelanggan. Dengan demikian, pelanggan akan kabur dan lebih memilih produk dengan harga yang lebih murah seperti impor.

“Di tengah kondisi lemahnya daya beli masyarakat dan murahnya produk impor akan membuat industri keramik semakin terperosok,” tegasnya.

Begitu juga dengan bank-bank BUMN yang menilai kenaikan tarif PPN akan menurunkan daya beli yang saat ini bahkan belum kuat akibat pandemi Covid-19. Dalam bahan paparan yang disampaikan Himbara kepada Komisi XI DPR RI mengenai masukan terhadap RUU KUP tersebut, disampaikan bahwa PPN ini akan ditanggung oleh konsumen akhir, sehingga beban pajak ini akan menambah beban bagi nasabah pinjaman yang akan dikenakan, yakni bunga plus pajak.

“PPN ditanggung oleh konsumen sehingga menekan daya beli masyarakat,” tulis paparan Himbara tersebut. PPN akan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga beban pajak ini akan menambah beban nasabah pinjaman (disinsentif) yaitu bunga plus pajak,” kata dia.

Penerapan aturan baru itu dinilai juga akan berpotensi menurunkan GDP (gross domestic product) atau PDB (produk domestik bruto) sebesar 0,27% sebagai akibat dari tekanan daya beli dan inflasi yang meningkat.

Sebab, Himbara memperhitungkan bahwa penerapan RUU KUP ini akan berdampak pada tingginya tekanan inflasi menjadi 4% pada 2022 mendatang.

“Akibat adanya PPN akan membuat biaya loan semakin besar sehingga akan mempengaruhi forward linkage perbankan (sektor rill). Hal ini akan menghambat sektor riil untuk berkembang,” tulis Himbara.

Sumber: CNBC Indonesia, Selasa 31 Agustus 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only