Ternyata Ini Alasan Tarif PPh Bunga Obligasi Dipangkas Jadi 10%

Penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final atas bunga obligasi yang diterima wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT) menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (6/9/2021).

Penurunan tarif dari 15% menjadi 10% melalui PP 91/2021 itu sejalan dengan pemangkasan tarif PPh Pasal 26 atas bunga obligasi yang diterima wajib pajak luar negeri. Tarif PPh Pasal 26 tersebut telah dipangkas dari 20% menjadi 10% melalui PP 9/2021 yang merupakan amanat UU Cipta Kerja.

“[Untuk] mengurangi distorsi pembentukan harga obligasi antar investor, perlu melakukan penyesuaian tarif pajak penghasilan atas penghasilan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap,” bunyi penggalan penjelasan PP 91/2021.

Ada 3 dasar pengenaan pajak (DPP) tarif PPh final atas bunga obligasi sebesar 10%. Pertama, untuk bunga dari obligasi dengan kupon, DPP ditetapkan sebesar jumlah bruto sesuai dengan masa kepemilikan obligasi.

Kedua, untuk diskonto dari obligasi dengan kupon, DPP-nya adalah selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi tidak termasuk bunga berjalan. Ketiga, untuk diskonto dari obligasi tanpa bunga, DPP yang dipakai adalah selisih lebih harga jual atau nilai nominal di atas harga perolehan obligasi.

Selain mengenai penurunan tarif PPh final obligasi, ada pula bahasan terkait dengan rencana pengenaan pajak atas natura. Kemudian, ada pula bahasan terkait dengan penambahan anggaran pembaruan sistem inti administrasi perpajakan serta performa pemberian insentif pajak.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Keadilan untuk Seluruh Kelompok Investor

Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan melalui PP 91/2021, pemerintah ingin menciptakan kesetaraan (level playing field) dan keadilan bagi seluruh investor obligasi.

“Agar tercipta kesetaraan dan keadilan bagi seluruh kelompok investor dengan disahkannya PP 91/2021 ini,” ujarnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)

Pasar Obligasi Indonesia

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, pasar obligasi Indonesia tumbuh cukup baik. Namun, perkembangan itu masih memerlukan dorongan.

Hal ini terlihat dari kapitalisasi pasar obligasi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia (30,6%) yang masih rendah dibandingkan dengan negara Asean-5 lainnya seperti Malaysia (122,7%), Singapura (79,9%), Thailand (69,6%), dan Filipina (49,4%).

“Pasar obligasi Indonesia sangat potensial. Pemerintah Indonesia ingin memastikan bahwa para investor dapat memanfaatkan keringanan pajak ini untuk berinvestasi dalam instrumen obligasi baik SBN (surat berharga negara) maupun korporasi,” ujarnya. (DDTCNews/Bisnis Indonesia/Kontan)

Skema Fringe Benefit Tax

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pengaturan skema fringe benefit atau natura saat ini bersifat nondeductible dan nontaxable. Ketentuan ini memunculkan celah penggeseran laba ke dalam bentuk natura.

Menurut dia, dengan membalik pengaturan natura menjadi deductible dan taxable, akan ada potensi penghilangan praktik tax planning tersebut. Kondisi ini pada gilirannya akan berpotensi menambah penerimaan negara. (Bisnis Indonesia)

Anggaran Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan

Komisi XI DPR menyetujui usulan Kementerian Keuangan untuk menambah pagu anggaran 2022 dari Rp43,02 triliun menjadi Rp44,01 triliun. Tambahan anggaran akan digunakan untuk melanjutkan pengembangan sistem digital dalam pelayanan.

Adapun pembaruan sistem inti administrasi pajak mendapatkan tambahan anggaran terbesar, yakni mencapai Rp328,37 miliar. Dengan pembaruan core tax system, berbagai proses bisnis utama pada DJP akan terdigitalisasi.

Pemanfaatan Insentif Pajak

Hingga 20 Agustus 2021, insentif pajak yang sudah diberikan mencapai Rp51,97 triliun atau setara dengan 82,7% terhadap total pagu Rp62,83 triliun.

Insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) dimanfaatkan 76.025 pemberi kerja. PPh final DTP telah dimanfaatkan 125.198 wajib pajak UMKM. Pembebasan PPh Pasal 22 Impor diberikan kepada 9.305 wajib pajak. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 diberikan kepada 56.858 wajib pajak.

Restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) dipercepat untuk 1.995 wajib pajak. PPN DTP properti untuk 574 penjual dengan 7.069 pembeli. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil DTP bagi 6 penjual pada 89.050 unit mobil. Penurunan tarif PPh badan menjadi 20% untuk seluruh wajib pajak.

PPh Pengalihan Partisipasi Interes

Pemerintah merilis aturan yang memerinci perlakuan PPh atas pengalihan partisipasi interes pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Perincian aturan tersebut tertuang dalam PP 93/2021,

Secara garis besar, PP 93/2021 ini ini mengatur tentang bentuk kepemilikan dan transaksi pengalihan partisipasi interes, pengecualian pengenaan PPh atas pengalihan partisipasi interes, tarif PPh dan dasar pengenaan pajaknya, serta saat terutang pengalihan partisipasi interes.

Ketentuan-ketentuan tersebut sebelumnya telah diatur dalam PP 79/2010 s.t.d.d. PP 27/2017, dan PP 53/2017, tetapi belum terperinci. Aturan terdahulu juga belum mengakomodasi ketentuan yang mendukung kebijakan untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui restrukturisasi BUMN.

Konsolidasi Fiskal Bertahap

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah berupaya menurunkan defisit APBN secara bertahap. Menurutnya, konsolidasi yang terlalu cepat justru berpotensi menimbulkan syok pada perekonomian, terutama di tengah pandemi Covid-19.

“Solusinya memang [penerimaan] pajak harus naik, tetapi ini juga bisa menyebabkan syok pada ekonomi kalau terlalu cepat. Jadi, kami harus betul-betul hati-hati menjaga keseluruhannya,” katanya.

Simplifikasi Tarif Cukai Rokok

Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan pemerintah akan merealisasikan simplifikasi tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok secara bertahap. Pembahasan berada dalam koordinasi langsung Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

“Untuk roadmap jangka menengah, sekarang ini didiskusikan di level menko karena dulu kami pernah propose, di-drop. Memang akan lebih pas di level menko untuk diskusi mengenai roadmap,” katanya. (DDTCNews)

Pengenaan Pajak Karbon

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menegaskan rencana pengenaan pajak karbon tidak hanya untuk menambah penerimaan, tetapi juga untuk pelestarian lingkungan. Menurutnya, pajak karbon akan menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam mengelola lingkungan secara lebih berkelanjutan.

“[Pajak karbon] lebih dari sekadar penerimaan negara karena ini adalah perspektif baru. Kami ingin memberikan sinyal arah kebijakan Indonesia ke depan, salah satunya pajak karbon,” ujar Suahasil.

Usulan Jenis dan Tarif PNBP

Kementerian Keuangan menerbitkan ketentuan baru mengenai tata cara untuk mengusulkan serta menetapkan jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PKK) No. 113/2021.

Sesuai dengan PMK 113/2021, instansi pengelola PNBP perlu menyusun usulan jenis dan tarif PNBP. Usulan tersebut disampaikan melalui surat kepada Ditjen Anggaran (DJA) dengan tembusan kepada menteri keuangan.

Dalam menyampaikan usulan, instansi pengelola PNBP harus menyederhanakan jenis dan tarif, melakukan analisis atas efektivitas dan kinerja pengenaan, melakukan analisis latar belakang pengenaan, melakukan analisis atas dasar perhitungan, dan menganalisis dampak pengenaan. 

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only