Cegah Penghindaran Pajak

Ketika pandemi, sudah jelas pemerintah tidak usah meningkatkan tarif pajak atau membuat pungutan baru yang kontraproduktif. Selain makin memukul daya beli masyarakat yang masih lemah, dipastikan akan merontokkan industri yang untuk bertahan saja sudah sangat sulit dan menggerus kepercayaan investor. Padahal, jutaan pemutusan hubungan kerja (PHK) masih terjadi di mana-mana.

Di sisi lain, tak bisa dipungkiri, di masa pandemi Covid-19 yang dahsyat ini, makin banyak wajib pajak (WP) mengaku rugi. Indikasi penghindaran pajak pun menguat, padahal undang-undang mengharuskan defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sudah wajib kembali maksimal 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai tahun 2023.

Itulah sebabnya, pemerintah akan kembali melakukan reformasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan agar defisit menurun, dengan berupaya mengegolkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang tengah dibahas di DPR. Substansi RUU KUP ini mencakup tujuh aspek yakni terkait UU KUP, UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), UU Cukai, pajak karbon, pajak dengan surat paksa termasuk terhadap wajib pajak di luar negeri karena prinsip resiprokal, serta mengenai UU Pengadilan Pajak.

Tentu saja, kita sepakat dengan pemerintah bahwa penghindaran pajak harus dicegah, karena pajak sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan. Namun demikian, saatnya sangat tidak tepat untuk menaikkan beban pajak bagi siapa pun, mengingat bangsa ini masih terseok-seok dalam berjuang mengatasi pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhir dan ekonomi masih tertekan.

Di sinilah wakil rakyat di DPR harus mengawal agar RUU KUP tidak menimbulkan instabilitas, yang kontraproduktif terhadap upaya mempercepat pemulihan ekonomi. Jangan sampai perjuangan berat Presiden Joko Widodo mengegolkan omnibus law pertama di Indonesia untuk mempermudah usaha dan meringankan beban pengusaha justru dimentahkan kembali dengan revisi UU yang tidak tepat.

Yang tidak kalah berbahaya, ketidakkonsistenan itu akan meruntuhkan kepercayaan investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Apalagi, substansi RUU KUP justru banyak mendelegasikan pengaturan pada peraturan menteri keuangan (PMK), bukan pada peraturan pemerintah (PP).

Concentration of decision making ini dapat menurunkan sovereign credit rating Indonesia, karena kekuasaan yang makin terpusat dipastikan makin rentan terhadap abuse of power. Ini harus diwaspadai, mengingat sejak April 2020, lembaga pemeringkat global S&P sudah mengeluarkan outlook negatif untuk rating Indonesia, akibat prospek ekonomi yang memburuk dihantam pandemi Covid-19.

Para pengusaha yang menjadi mitra utama pemerintah dalam pemulihan ekonomi dan mengatasi pengangguran pun sudah mengingatkan bahwa RUU KUP bertentangan dengan semangat omnibus law UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Semangat UU ini jelas, yakni memperbaiki iklim investasi untuk menarik investasi, membuka lapangan pekerjaan, dan mendongkrak ekspor. Sementara, RUU KUP justru menaikkan PPN, mengenakan PPN atas sembako, menciptakan pajak karbon, dan menaikkan tarif PPh, sehingga menurunkan daya beli masyarakat dan menekan penjualan barang. Artinya, investasi menjadi kurang menarik, menggangu lapangan kerja, dan mengganggu ekspor RI, yang pada saat pandemi ini sebenarnya menunjukkan kinerja menggembirakan.

Kenaikan tarif PPN dan pengenaan PPN terhadap barang-barang kebutuhan pokok juga akan meningkatkan inflasi yang bisa kembali mendongkrak suku bunga bank, selain menggerus daya beli terutama masyarakat miskin dan hampir miskin. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk miskin dan hampir miskin itu sudah di atas 130 juta, dengan penduduk miskin absolut sebanyak 30 juta.

Rencana pengenaan PPh minimal 1% dari penghasilan bruto juga dipastikan akan memukul usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mencapai 64 juta. UMKM yang kini sangat terpukul dengan pembatasan sosial dan kegiatan masyarakat ini jangankan bisa naik kelas seperti diharapkan Presiden Joko Widodo, untuk bertahan hidup pun akan semakin sulit jika ketentuan dalam RUU KUP itu diberlakukan.

Oleh karena itu, ketimbang menambah beban pajak, mending pemerintah memperbaiki penagihan dan mengonsolidasi data wajib pajak melalui implementasi single identity number (SIN). Dengan demikian, setiap orang dan lembaga bisa dipantau sehingga tidak ada yang bisa menyembunyikan kekayaan, termasuk di luar negeri. Ditjen Pajak bisa mengecek semua kekayaan wajib pajak Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.

Pemerintah juga harus meningkatkan daya beli rakyat dan menciptakan kembali lapangan kerja di berbagai daerah, dengan memperbanyak proyek-proyek padat karya dan menggenjot pembangunan infrastruktur yang menyerap banyak tenaga kerja. Perbaikan infrastruktur ini juga wajib dibarengi dengan kemudahan pengusaha dalam mendapatkan perizinan maupun beragam insentif fiskal dan nonfiskal, agar roda perekonomian kembali berputar dan penerimaan pajak meningkat.

Yang tak kalah penting, sosialisasi dan edukasi perpajakan ditingkatkan dengan melibatkan media massa, yang sekaligus dalam rangka memenuhi unsur partisipasi publik. Kesadaran masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa ditingkatkan dengan mengedepankan fairness, tanpa perlu terus ditakut-takuti dengan aneka sanksi apalagi dipungli.

Sumber: Investor Daily, Sabtu 11 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only