DPR ramai-ramai tolak usulan penerapan PPN sembako, kesehatan, dan jasa pendidikan

Pemerintah tengah mengajukan usulan untuk mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan tertentu. Tujuannya, untuk menciptakan asas keadilan dalam membayar pajak, sekaligus meningkatkan penerimaan pajak.

Adapun rencana tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Beleid tersebut kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.

Anggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI Ecky Awal Mucharam menyampaikan, Fraksi PKS menolak penerapan PPN atas sembako, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa sosial, dan jasa pelayanan keagamaan.

Menurut dia, kelima rencana perluasan basis pajak tersebut merupakan hak dasar seluruh masyarakat. Terlebih kenyataannya, penerimaan PPN disumbang dari konsumsi masyarakat yang justru kebanyakan datang dari  masyarakat kalangan ekonomi miskin dan menengah. Sehingga, rencana tersebut justru dikhawatirkan akan jadi beban masyarakat.

Sementara itu, kontribusi PPN tersebut malah tidak tercermin pada realisasi penerimaan pajak penghasilan (PPh).

Kata Ecky, penerimaan PPh orang miskin menengah seperti karyawan dan buruh yang tercermin pada pos PPh Pasal 21 justru lebih banyak dibandingkan PPh orang pribadi yang merupakan representasi pajak orang kaya.

Oleh karenanya Fraksi PKS meminta agar pemerintah dalam RUU KUP juga menaikkan threshold penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari yang berlaku saat ini sebesar Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp 8 juta per bulan.

“Sehingga yang berpenghasilan tetap Rp 8 juta ke bawah tidak dikenakan ke PPh 21. Ini akan berkontribusi terhadap daya beli masyarakat yang penghasilannya Rp 8 juta ke bawah, sehingga menambah konsumsi rumah tangganya,” kata dia saat Rapat Kerja dengan Kemenkeu, Senin (13/9).

Sejalan, Anggota Panja RUU KUP dari Fraksi Partai Nasdem Fauzi Amor juga menolak rencana pengenaan PPN atas sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan karena dianggap akan memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

“Dan ini merupakan  kebutuhan dasar pokok manusia yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sehingga pemerintah harus menjamin pemenuhannya dalam bentuk apapun dan tidak malah mempersulit,” ujar Fauzi saat Rapat Kerja bersama dengan Kemenkeu, Senin (13/9).

Untuk mengkompensasi penolakan atas perluasan objek PPN, Fauzi mengatakan pihaknya mendorong pemerintah sebagaimana dalam RUU KUP untuk mengejar PPh atas perusahaan digital asing yang telah mengambil manfaat ekonomi dari Indonesia, meski tak memiliki kehadiran fisik di dalam negeri.

Fraksi Partai Nasdem juga sepakat dengan adanya rencana pajak karbon, ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) berupa plastik dan minuman berpemanis.

Di sisi lain, Anggota Panja RUU KUP Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengatakan, pemerintah harus memperhatikan waktu pelaksanaan kebijakan dalam RUU KUP.

Sehingga, Fraksi Partai Golkar meminta agar pemberlakuan reformasi perpajakan tersebut dapat didesain lebih longgar dan fleksibel dengan menyesuaikan kondisi pemulihan ekonomi global dan domestik.

“Hal ini untuk memastikan masyarakat dan dunia usaha tidak tertimpa beban yang terlampau berat di saat perekonomian mereka belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi,” kata Misbakhun saat Rapat Kerja bersama dengan Kemenkeu, Senin (13/9).

Miskbahun juga menekankan, apabila sebagian RUU KUP diterapkan pada 2022 atau 2023, maka pemerintah harus mampu mencapai konsolidasi fiskal. Sebab, pada 2023 ekonomi dan penerimaan pajak musti menggeliat agar defisit anggaran bisa kembali di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB).

“Penerimaan pajak yang selama 13 tahun ini tidak pernah tercapai, maka harus bisa capai target. Sehingga tax rasio naik, utang berkurang, ruang fiskal yang lebar, dan tax based yang luas. Dan Indonesia sebagai negara yang mandiri dan berdaulat dari sisi pembiayaan pembangunan,” ujar dia.

Dalam kesempatan sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menjelaskan terhadap barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak  barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dikenakan PPN dengan tarif PPN yang lebih rendah dari tarif normal. Atau dapat tidak dipungut PPN serta bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi.

“Dengan demikian azaz keadilan semakin diwujudkan karena bisa saja bicara hal yang sama yaitu makanan pokok, pendidikan, dan kesehatan karena range dari konsumsi ini bisa dari yang sangat basic sampai yang paling sovicicated menyangkut pendapatan atau tingkat pendapatan yang sangat tinggi,” kata Sri Mulyani saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, Senin (13/9).

Sumber: nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only