Menimbang Untung Rugi Rencana RI Kenakan Pajak Karbon

Pemerintah berencana memberlakukan pajak karbon mulai tahun depan. Tarif pajak karbon rencananya ditetapkan minimal Rp 75 per kilo gram (kg) karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Usulan besaran pajak karbon tersebut akan tertuang dalam Revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Namun, angka tersebut juga sejatinya jauh dari rekomendasi yang diberikan sejumlah lembaga donor.

Bank Dunia maupun IMF merekomendasikan pajak karbon untuk negara berkembang berkisar antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp 1,4 juta (asumsi kurs Rp 14.500 per US$) per ton.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, rencana implementasi pajak karbon berisiko menekan daya beli masyarakat dan kontraproduktif dengan misi pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Pasalnya, pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan, termasuk risiko tergerusnya daya beli masyarakat karena harga jual beberapa barang yang dikenai pajak menjadi lebih mahal.

“Jadi kalau ekonomi baru mau pulih lalu dihajar dengan pajak pemulihannya bisa terhambat,” kata Fabby dalam keterangan tertulis, Rabu (15/9/2021).

Pajak karbon akan dikenakan kepada produsen atau menyasar sisi produksi. Kebijakan ini memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.

Sejalan dengan itu, maka produsen akan membebankan pajak tersebut kepada konsumen dengan mengerek harga jual barang. Artinya, masyarakat menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut.

Menurut Fabby, kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal. Dengan kata lain, pajak karbon berisiko memangkas realisasi penanaman modal terutama yang berasal dari dalam negeri.

“Harus dipikirkan dampak dari kebijakan ini kepada industri-industri tertentu, karena industri yang terkena harus mempersiapkan diri,” kata Fabby.

Sebagai informasi, kalangan pengusaha sejatinya sudah kompak menolak pengenaan pajak karbon yang tertuang dalam revisi UU KUP. Namun, pemerintah juga telah angkat bicara terkait hal ini.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, energi fosil dan energi terbarukan bisa berjalan beriringan. Seperti diketahui saat ini perusahaan-perusahaan energi multinasional masih menerapkan energi fosil seperti batubara, minyak bumi, gas alam dan sebagainya.

“Karena pemahaman itu, kami mencari arah, yang juga bisa melihat sektor keuangan. Sektor keuangan juga saat ini melihat energi terbarukan sebagai masa depan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,” jelas Suahasil

Oleh karena itu, kata Suahasil pajak karbon sebagai klausul yang saat ini masih dibahas dengan DPR melalui Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), adalah cara pandang di masa depan.

Menurut Suahasil pajak karbon lebih sekedar dari pendapatan pemerintah. Tapi bagaimana menjadi perspektif baru untuk melindungi rakyat di masa depan.

“Pajak karbon mewakili cara pandang kita di masa depan tentang bagaimana kita melihat ekonomi, lingkungan, pilihan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

“Ini lebih dari sekedar pendapatan pemerintah, ini tentang perspektif baru yang penting bagi kami. Saya mengerti bahwa perusahaan multinasional juga internasional sangat intens mengenai isu lingkungan di masa depan,” kata Suahasil melanjutkan.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only