Pajak Karbon Penting untuk Menekan Pertumbuhan Emisi Gas Rumah Kaca

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menuturkan bahwa pemerintah perlu menetapkan target penurunan emisi dan menentukan target di masing-masing sektor.

Fabby menambahkan pemerintah juga perlu mengkaji nilai atau harga karbon efektif yang dapat mendukung pencapaian target.

“Harga karbon harus dihubungkan dengan target penurunan emisi dan harus mendorong pelaku ekonomi mengubah pilihan teknologi,” jelas Fabby.

“Jika harga karbon terlalu rendah, dikhawatirkan tidak memberikan sinyal yang memadai untuk mendorong upaya penurunan emisi yang substansial,” sambung Fabby.

Mengenai pelaksanaan pajak karbon, menurutnya pemerintah perlu secara terbuka menyampaikan pentingnya instrumen pajak karbon untuk menahan pertumbuhan emisi gas rumah kaca (GRK).

Analis Kebijakan Kementerian Keuangan Dewa Putu Ekayana menyatakan, Indonesia saat ini sudah hampir final dalam merancangan peraturan presiden terkait nilai ekonomi karbon (NEK).

“Aspek fiskal dari NEK bukan sebagai pajak karbon tapi pungutan atas karbon. Perluasan makna tersebut diharapkan tidak hanya mencakup pajak tapi juga instrumen lain,” ujar Dewa pada hari kedua Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2021, Selasa (21/9/2021).

Pertimbangan berikutnya, lanjut Dewa, adalah keseimbangan keuangan pemerintah pusat dan sub-nasional.

“Usul kami dari Kementerian Keuangan bagaimana nantinya financing mechanism tersebut dibayar dengan kredit karbon atau sertifikat karbon,” kata Dewa.

Sementara itu, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan, ada tiga hal penting dalam mewujudkan transisi energi.

Ketiga hal tersebut yakni komitmen politik (political will), basis hukum yang kuat, dan strategi yang komprehensif.

Dia menuturkan, Bappenas menyiapkan beberapa strategi untuk merealisasikan pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim.

Strategi-strategi tersebut seperti pengembangan energi berkelanjutan, pengelolaan sampah dan ekonomi sirkular, serta pengembangan industri hijau.

“Komitmen politik sudah didapatkan, strategi yang baik sudah dituangkan yang terdapat pada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) untuk bertransformasi menuju energi hijau. Sementara dasar hukum yang kuat sudah disiapkan melalui RUU EBT,” ungkap Arifin.

Sementara itu, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menjanjikan bahwa rancangan undang-undang (RUU) energi baru terbarukan (EBT) akan disahkan pada 2021.

“Masa energi terbarukan sudah menjadi suatu keharusan. Dalam RUU EBT ada semacam insentif pengembangan EBT dan disinsentif bagi pengembangan energi yang masih menyumbang karbon terbesar,” jelas Sugeng.

Di sisi lain, anggota Dewan Energi Nasional Herman Darnel Ibrahim mewanti-wanti agar implementasi dekarbonisasi sistem energi perlu pula memitigasi risiko ekonomi serta menjaga ketahanan energi nasional, khususnya menjaga harga energi tetap terjangkau.

Sumber: kompas.com, Rabu 22 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only