Penerimaan Negara Rentan Tergerus

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah perlu mewaspadai risiko tergerusnya penerimaan negara dalam implementasi Pilar 1: Unified Approach yang disepakati oleh komunitas global. Alasannya, kesepakatan itu hanya menguntungkan negara maju.

International Monetary Fund (IMF) dalam Digitalization and Taxation in Asia mencatat, negara berkembang seperti Indonesia berisiko kehilangan penerimaan sebesar 0,01% dari produk domestik bruto (PDB) jika mengimplementasikan Pilar 1.

Laporan itu menuliskan, jika Amount A dalam proposal Pilar 1 hanya berlaku pada korporasi multinasional dengan pendapatan global di atas 20 miliar euro, profitabilitas di atas 10%, dan residual profit yang direalokasikan kepada yurisdiksi pasar hanya sebesar 20%, tambahan penerimaan yang dinikmati oleh Indonesia pun tidak signifikan, atau justru memangkas potensi penerimaan.

Hal itu disebabkan karena penghasilan yang diperoleh korporasi di dalam negeri tidak mencapai batas atau treshold yang ditetapkan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).

“Negara berkembang seperti India, Indonesia, dan Malaysia bisa kehilangan penerimaan sebesar 0,01% dari PDB atau mendapatkan tambahan penerimaan yang cenderung minim,” tulis IMF dalam laporan yang dikutip Bisnis, Senin (20/9).

IMF mencatat negara yang diuntungkan adalah yurisdiksi dengan penghasilan cukup tinggi, di antaranya Australia, Jepang, Korea Selatan, dan China.

Selain Indonesia, negara lain yang juga berisiko mengalami penggerusan penerimaan adalah Singapura dan Hong Kong. 

Kedua negara tersebut diperkirakan kehilangan penerimaan pajak sebesar 0,15% dari PDB akibat realokasi hak pemajakan atas residual profi t kepada yurisdiksi pasar.

“Ini karena adanya dispropor-sionalitas antara residual profit dan market share pada yurisdiksi investment hub,” tulis IMF.

Laporan ini diterbitkan oleh IMF setelah disepakatinya Pilar 1 OECD. Sekadar informasi, arah proposal Pilar 1 meluas pascapertemuan negara-negara G7 pada Juni 2021. 

Sebelumnya, Pilar 1 hanya terbatas pada sektor ekonomi digital seperti Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Businesses (CFB).

Namun, cakupan proposal tersebut kini lebih luas yakni dengan mengarah kepada seluruh korporasi multinasional yang memenuhi ambang batas atau treshold peredaran bruto global senilai 20 miliar euro dan profitabilitas di atas 10%.

Sejalan dengan berubahnya arah Pilar 1 tersebut, pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan pernah melakukan penghitungan terkait dengan potensi penerimaan dari perubahan arah Pilar 1.

BKF mencatat, ada lebih dari 100 korporasi multinasional yang memiliki pendapatan global lebih dari 20 miliar euro dan profi tabilitas lebih dari 10%.

Meski demikian, terdapat beberapa korporasi multinasional yang memiliki penjualan signifikan di Indonesia, tetapi tidak tercakup dalam Pilar 1 akibat tidak terpenuhinya threshold pendapatan global yang dipersyaratkan itu.

Di sisi lain, pemerintah telah memiliki langkah antisipasi jika konsensus global berlarut atau mengancam penerimaan Indonesia, yakni melalui implementasi pajak transaksi elektronik (PTE) yang diakomodasi dalam UU No. 2/2020.

Skema PTE akan diterapkan jika wajib pajak luar negeri tidak dapat dikenai PPh karena penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B). Adapun, PTE dikenakan atas transaksi penjualan barang dan/atau jasa dari luar negeri.

Otoritas fiskal pun tengah ancang-ancang untuk menyiapkan skema PTE sebagai antisipasi jika pungutan PPh terkendala P3B dan alotnya konsensus global. 

Hal itu tecermin di dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Berdasarkan simulasi yang dilakukan Bisnis, potensi penerimaan yang bisa dipungut oleh pemerintah dalam skema PTE sedikitnya mencapai Rp75,6 triliun.

Estimasi itu menggunakan asumsi jumlah transaksi perdagangan elektronik dalam negeri pada tahun lalu yang tertuang di dalam Naskah Akademik RUU KUP yakni mencapai Rp630 triliun.

Transaksi itu menjadi potensi objek Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan/atau PTE. Angka tersebut diperoleh berdasarkan olah data pemerintah dengan mengacu pada kajian Google, Temasek & Bain.

Potensi penerimaan senilai Rp75,6 triliun menggunakan asumsi tarif PPN baru yang diusulkan sebesar 12%, sedangkan jika menggunakan tarif PPN yang saat ini berlaku yakni sebesar 10%, maka estimasi penerimaan senilai Rp63 triliun.

“Penerimaan pajak tersebut tentunya akan berdampak positif terhadap keuangan negara,” tulis pemerintah dalam Naskah Akademik RUU KUP yang diper-oleh Bisnis.

SARAN AKADEMISI

Menanggapi hal itu, pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI) Prianto Budi Saptono menyarankan kepada pemerintah untuk mengidentifikasi secara jelas dan terperinci terkait dengan objek PTE sehingga memiliki legalitas yang kuat.

Selain itu, penerapan PTE di lapangan juga harus memberikan kemudahan dari sisi administrasi bagi wajib pajak yang mendapatkan tugas untuk memungut dan melaporkan.

“Dari sisi pihak yang harus menanggung beban PTE, mereka juga harus merasakan perlakuan yang adil,” kata dia.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengusulkan PMSE harus masuk ke dalam kategori instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) yang berperan sebagai pemasok data bagi otoritas pajak untuk mempermudah pengelolaan data.

Hal ini kemudian akan memudahkan pemerintah untuk melakukan identifikasi serta penggalian potensi penerimaan dari ekonomi digital.

“Sektor digital menurut saya sudah seharusnya masuk dalam daftar mengingat makin banyak PMSE yang ditunjuk menjadi pemungut PPN,” ujarnya.

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Selasa 21 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only