Tren Reformasi Pajak Di Tengah Pemulihan Ekonomi, Ini 5 Sasarannya

MALANG, DDTCNews – Setiap negara di dunia memiliki formula masing-masing dalam mendesain kebijakan perpajakannya. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, kebijakan pajak menjadi salah satu senjata pemerintah dalam mengurangi dampak ekonomi yang dirasakan.

Kebijakan fiskal secara umum yang akomodatif juga perlu dirancang agar ekonomi lebih kuat saat pandemi usai nanti. Hal ini juga yang dilakukan pemerintah Indonesia.

Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan reformasi pajak menjadi salah satu resep bagi pemerintah untuk mewujudkan pemulihan ekonomi yang inklusif. Secara jangka panjang, reformasi pajak juga menjadi cara untuk mencapai minimum tax ratio 15%.

“Kalau kita melihat aspek pertumbuhan ekonomi, pasti kita menginginkan petumbuhan yang eksklusif jadi tidak terkonsentrasi pada kelompok tertentu saja,” kata Bawono dalam Seminar Perpajakan Nasional 2021 FIA Universitas Brawijaya, berjudul Dinamika Kebijakan Fiskal dalam Mempersiapkan Perekonomian Indonesia Pascapandemi, Sabtu (25/9/2021).

Perlunya pemulihan ekonomi yang inklusif bukan tanpa alasan. Menurut Bawono, kelompok ekonomi menengah atas cenderung lebih cepat pulih di tengah pandemi. Hal ini berbeda dengan kelompok ekonomi menengah bawah yang butuh penyesuaian lebih lama.

Fenomena tersebut, ujarnya, menyodorkan tantangan baru bagi pemerintah berupa potensi meningkatkan kesenjangan ekonomi pascapandemi nanti. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemulihan ekonomi inklusif melalui agenda reformasi pajak.

Setidaknya ada 5 poin orientasi reformasi pajak di banyak negara di tengah pandemi saat ini. Pertama, mengubah orientasi fiskal yang ekspansif kepada konsolidasi fiskal. Kedua, pembangunan yang inklusif.

Ketiga, pemulihan ekonomi. Apalagi setiap negara memiliki resepnya masing-masing untuk meningkatkan daya saing. Menjelang pascapandemi ini, ujar Bawono, investor akan mencari tempat terbaik untuk menginvestasikan modalnya. Oleh karena itu, peningkatan daya saing menjadi agenda penting.

Keempat, koordinasi global. Kelima, kesehatan dan lingkungan hidup karena orientasi pemerintah dalam menangani kasus Covid-19.

Berdasarkan survei OECD atas 66 negara yang diolah kembali oleh DDTC Fiscal Research, tren instrumen pajak di berbagai negara dimulai dari stimulus, insentif daya saing, dan menuju konsolidasi fiskal. Sepanjang semester I/2020 lalu instrumen kebijakan pajak global diarahkan untuk meringankan beban wajib pajak dari dampak pandemi.

Berlanjut ke semester II/2020, kebijakan pajak disusun untuk menarik investasi dan global talent. Indonesia menuangkan hal ini melalui Undang-Undang Cipta Kerja.

Selanjutnya, sepanjang semester I/2021, angka Covid-19 justru meningkat. Karenanya, daya tahan anggaran perlu disokong oleh optimalisasi penerimaan pajak. Indonesia misalnya, menambahkan tax bracket baru untuk PPh orang pribadi sebesar 35%. Langkah senada juga dilakukan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, yang gencar mengampanyekan pemajakan atas orang kaya.

Reformasi sistem pajak internasional juga dilakukan dengan mencari solusi atas pengenaan PPh digital lintas yurisdiksi. Mayoritas negara anggota BEPS Inclusive Framework, termasuk Indonesia, juga telah menunjukkan komitmen atas proposal OECD yang terdiri dari 2 pilar.

Pada hakikatnya, pilar 1 membuat negara sumber mendapat hak pemajakan dan alokasi laba dari perusahaan luar negeri yang memperoleh laba di negara sumber. Pilar 2 menetapkan global minimum tax sebesar 15%. Proposal pilar 2 akan memaksa setiap negara khususnya tax haven country menerapkan tarif pajak minimal sehingga mengurangi kompetisi tarif. 

Sumber: DDTC News, Sabtu 25 September 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only