UMKM Tidak Lagi Pakai PPh Final, Tantangan Ini Perlu Diatasi Bersama

Kewajiban penyelenggaraan pembukuan menjadi salah satu tantangan yang perlu diantisipasi wajib pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) saat beralih menggunakan ketentuan umum pajak penghasilan penghasilan (PPh).

Researcher DDTC Fiscal Research Hamida Amri Safarina mengatakan selama ini, sebagian besar pelaku UMKM di Tanah Air masih mengalami masalah dalam penyusunan akuntansi dan laporan keuangan. Kerja sama antarpihak dibutuhkan untuk mengatasi tantangan agar UMKM bisa berkembang atau naik kelas.

“Kolaborasi antarpihak menjadi krusial agar UMKM mendapatkan kepastian, kemudahan, dan kesederhanaan dalam administrasi pajak. Dengan demikian, cost of compliance yang dikeluarkan tetaprendah,” ujarnya, Selasa (28/9/2021).

Dalam upaya ini, Ditjen Pajak (DJP), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), serta Kementerian Koperasi dan UKM telah berkolaborasi dan merilis beberapa program yang mempermudah UMKM. Kemudahan mulai dari penyusunan laporan keuangan hingga pemenuhan kewajiban perpajakan.

Kolaborasi itu menghasilkan adanya Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil Menengah (SAK EMKM) dan aplikasi Lamikro. Melalui SAK EMKM, penyusunan laporan keuangan dilakukan menggunakan dasar akrual yang dirancang dengan sangat sederhana sehingga memudahkan UMKM untuk menghitung pajaknya.

Sementara itu, melalui aplikasi Lamikro, pelaku UMKM dapat membuat 3 jenis laporan, yakni laporan posisi keuangan, laba rugi, dan catatan atas laporan keuangan. Aplikasi ini juga dapat memfasilitasi penghitungan pajak terutang.

Pemerintah juga telah memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, termasuk UMKM melalui PMK 54/2021. Dalam beleid tersebut, wajib pajak UMKM diperkenankan melakukan pencatatan tanpa menyampaikan pemberitahuan penggunaan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN).

Aturan tersebut akan bergerak simultan dengan SAK EMKM. Namun, dalam implementasinya, pendampingan dan pembinaan UMKM perlu digencarkan baik melalui account representative (AR) maupun kolaborasi dengan stakeholder lain, seperti asosiasi pelaku usaha dan perguruan tinggi.

Selain fasilitas dan kemudahan yang telah berlaku, lanjut Hamida, pemerintah juga dapat mempertimbangkan simplifikasi pelaporan pajak UMKM melalui penyederhanaan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa serta fleksibilitas waktu pelaporan.

“UMKM tidak harus melaporkan pajaknya setiap 1 bulan seperti yang berlaku saat ini. Jika dilihat pada praktik internasional, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Polandia, Irlandia, dan India memperbolehkan UMKM membayar pajak setiap 3 bulan atau bahkan 1 tahun sekali,” jelas Hamida.

Adapun terkait dengan rencana penghapusan fasilitas pengurangan tarif dalam Pasal 31E UU PPh, menurut Hamida, rencana yang masuk dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu telah simultan dengan tujuan pemerintah untuk mendorong UMKM naik kelas.

Apabila ketentuan Pasal 31E UU PPh masih berlaku, pelaku UMKM yang tengah bertransisi dari skema PPh final berpeluang untuk kembali memanfaatkan fasilitas pengurangan tarif. Rencana pemerintah itu, lanjut Hamida, menjadi wujud evaluasi kebijakan belanja perpajakan (tax expenditure).

Menurut Hamida, rencana tersebut juga menjadi upaya untuk meningkatkan kontribusi PPh dalam penerimaan pajak pada fase pemulihan dan konsolidasi ekonomi. Apalagi, berbagai fasilitas PPh yang telah digelontorkan pemerintah, termasuk pengurangan tarif, turut menggerus basis penerimaan.

Seperti diketahui, dalam PP 23/2018, penggunaan skema PPh final dibatasi selama 3 tahun pajak untuk wajib pajak badan perseroan terbatas (PT). Kemudian, batas waktu 4 tahun pajak bagi wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), atau firma. Untuk wajib pajak orang pribadi, skema PPh final bisa dimanfaatkan selama 7 tahun.

Dengan ketentuan tersebut, jika wajib pajak badan terdaftar pada tahun pajak 2018 atau sebelumnya, PPh final UMKM berlaku hingga akhir tahun pajak 2020 untuk PT dan akhir tahun pajak 2021 untuk CV, koperasi, atau firma. Artinya, mulai tahun depan, banyak wajib pajak UMKM yang sudah harus menggunakan ketentuan umum pajak.

DDTC Fiscal Research, ujar Hamida, memandang skema presumptive tax—yang telah diberlakukan sejak terbitnya PP 46/2013 dan dilanjutkan dengan PP 23/2018—telah membuahkan hasil yang baik dalam mencapai tujuan pemerintah.

Tujuan yang dimaksud adalah meningkatkan voluntary compliance, meningkatkan kontribusi UMKM terhadap penerimaan pajak, serta mendorong UMKM untuk terlepas dari informal trap sehingga dapat naik kelas.

Hal ini dapat dilihat dari penerimaan PPh final UMKM yang menunjukkan tren peningkatan pada periode 2013-2017. Selain itu, pada 2020, meskipun dalam kondisi pandemi Covid-19, sebanyak 2,3 juta wajib pajak UMKM sudah membayar pajak melalui skema presumptive tax.

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only