Kebijakan Pajak Sri Mulyani Bak Berburu di Kebun Binatang

Di Indonesia, upaya untuk mempertipis jarak penarikan pajak antara si kaya dan si miskin, masih belum mampu ditemukan solusinya. Oleh karena itu, dalam menarik pajak di dalam negeri, pemerintah tampak seperti ‘berburu di kebun binatang’.

Artinya kebijakan pemerintah untuk menggenjot pajak yang dilakukan, masih fokus pada intensifikasi. Sedangkan ekstensifikasi atau perluasan wajib pajak baru masih dianggap kurang.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan bahwa selama ini pemerintah sulit untuk menarik pajak penghasilan (PPh) orang pribadi kelas menengah atas atau orang-orang kaya di Indonesia.

Hal tersebut, kata Sri Mulyani terlihat dari banyaknya insentif atau belanja pajak (tax expenditure) yang justru hanya dinikmati oleh orang-orang kaya atau wajib pajak orang pribadi (WP OP) dengan penghasilan tinggi.

Dalam lima terakhir terakhir misalnya, Sri Mulyani mengungkap hanya 1,42% dari total wajib pajak orang pribadi yang melakukan pembayaran dengan tarif tertinggi yaitu 30%. Selain itu, hanya 0,03% orang kaya atau wajib pajak berpenghasilan di atas Rp 5 miliar yang melaporkan SPT Tahunannya.

“Dari 2016-2020 hanya 0,03% jumlah WP orang pribadi yang punya penghasilan kena pajak Rp 5 miliar per tahun, dan kontribusinya adalah 14,28% dari rata-rata total PPh orang pribadi yang terutang dalam 5 tahun terakhir yakni sebesar Rp 84,6 triliun,” jelas Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR pada Juni silam, dikutip Senin (4/10/2021).

Oleh karena itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid mengungkapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% pada 2022 belum tentu menjadi perbaikan ekonomi yang cukup signifikan.

Kenaikan tarif 11% PPN pada 2022, kata Ahmad malah akan menjadi disinsentif atau tidak mendorong pemulihan ekonomi pada 2022. Meskipun diketahui target pajak tahun depan cukup tinggi, sebesar Rp 1.265 triliun, atau naik 10,72% dari outlook pemerintah tahun ini yang sebesar Rp 1.142,5 triliun.

Permasalahannya, sampai saat ini pemerintah belum pernah menyelesaikan dengan serius basis data perpajakan.

“Di samping banyak hidden economy di sektor informal, sektor-sektor yang selama ini belum tergarap dengan basis pajak, itu yang harus diberlakukan, bukan katakanlah seperti berburu di kebun binatang,” jelas Tauhid dalam Program Power Lunch CNBC Indonesia TV, Senin (4/10/2021).

Seharusnya, kata Tauhid, lebih baik pemerintah berburu di hutan rimba yang belum ada basis pajaknya. Artinya pemerintah perlu meningkatkan basis pajak yang selama ini belum terkerek ke dalam sistem penerimaan negara.

Adanya skema penerapan tarif pajak karbon dan penarikan cukai plastik di dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RPP), kata Ahmad menjadi salah satu solusi yang bagus untuk dilakukan pemerintah.

“Kami setuju untuk pajak karbon, kemudian penerapan cukai plastik, dan sebagainya. Itu lah yang berburu di hutan rimba, yang memang belum terjamah dan perlu ada upaya lebih keras ke situ ketimbang PPN itu diberlakukan,” jelas Ahmad.

Seperti diketahui, pemerintah dan Komisi XI DPR telah menyepakati RUU HPP tahap I. Rencananya, pada Kamis (7/10/2021) RUU HPP akan disahkan menjadi undang-undang.

Secara keseluruhan, RUU HPP bertujuan mereformasi sistem perpajakan. RUU ini mencakup pengaturan kembali fasilitas PPN, kenaikan tarif PPh, implementasi pajak karbon, perubahan mekanisme penambahan atau pengurangan jenis barang kena cukai (BKC), pengampunan pajak, dan ketentuan penghapusan sanksi pidana.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only