Jejak Pengampunan Pajak di Indonesia, Dimulai Sejak Era Soekarno

Jakarta – Tahun depan pemerintah akan memberikan tax amnesty atau pengampunan pajak jilid II. Hal ini setelah disahkannya Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam UU tersebut, program ini diberi nama pengungkapan sukarela wajib pajak yang disebut menjadi tax amnesty jilid II. Rencananya program ini berjalan periode 1 Januari-30 Juni 2022.

Sebenarnya program pengampunan pajak ini sudah terjadi berpuluh-puluh tahun lalu. Dikutip dari edukasi.pajak.go.id disebutkan Presiden Soekarno merupakan presiden pertama yang menggelar pengampunan pajak ini.

Melalui Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak program ini diterbitkan.

Ada beberapa subjek pengampunan pajak antara lain Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Sedangkan untuk Objek Pengampunan adalah Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan, Pajak Perseroan dan Bea Meteri Modal.

Nah untuk Wajib Pajak yang diampuni maka harus membayar sejumlah uang tebusan dengan persentase 10% dari nilai kekayaan yang diampunkan dan ada tarif reduksi 5% yang merupakan perangsang jika kekayaan yang diampunkan ditanamkan baik pada usaha baru atau usaha yang bisa mempertinggi produksi di sektor pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, perindustrian dan pengangkutan.

Pengampunan pajak saat itu bertipe investigation amnesty. Hal ini menjanjikan pemerintah tak akan menyelidiki sumber penghasilan yang dilaporkan pada tahun tertentu dan ada sejumlah uang pengampunan yang harus dibayar.

Program pengampunan pajak 1964 itu dinilai oleh banyak pihak tidak sesuai dengan target pemerintah. Bahkan jumlah dana yang dihasilkan itu tidak cukup dan program pengampunan pajak dirancang tanpa pemikiran yang matang.

Tapi saat itu ada sejumlah alasan yang membuat pemerintah membuat program ini. Antara lain, saat itu kondisi ekonomi tidak stabil, inflasi terus naik dari tahun ke tahun.

Kondisi ini membuat para Wajib Pajak beralasan untuk menghindari pajak laba, pendapatan dan kekayaannya.

Kemudian saat itu belum ada sistem pembukuan yang lengkap dan benar. Karena Indonesia menganut sistem laba fiskal dan meliputi laba inflasi. Nah hal ini membuat Wajib Pajak untuk ngemplang.

Kala itu, tarif Pajak Pendapatan masih menganut tarif progresif. Para Wajib Pajak ini menganggap jika ini adalah hal yang berat. Bahkan disebut sebagai hukuman. Karena masyarakat menilai jika pendapatan yang dikantongi tidak sesuai dengan hasil kerja keras, apalagi waktu itu inflasi masih tinggi.

Selanjutnya Indonesia saat itu membutuhkan dana yang besar untuk pembiayaan ‘Revolusi Nasional Indonesia’, pelaksanaan Dwikora dan melanjutkan Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang menjadi salah satu konsep dalam pemerintahan Soekarno.

Selain pengampunan pajak, pemerintah pada 1964 juga mengeluarkan paket kebijaksanaan ekonomi dan keuangan atau fiskal di bawah kendali Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).

Sumber : finance.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only