Pajak Karbon Cara RI Selamat dari Ancaman Seram Selain Covid

Jakarta,Pengurangan emisi gas rumah kaca dan menghalau perubahan iklim atau climate change menjadi upaya yang serius dilakukan pemerintah. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan mengenakan pajak karbon.

Pengenaan pajak karbon akan dimulai awal 2022, dan diatur di dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon akan ditujukan kepada badan yang bergerak pada bidang pembangkitan listrik tenaga uap atau PLTU batubara.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan, pajak karbon sangat penting untuk dilakukan. Lewat pajak karbon, akan memberikan harga kepada emisi karbon dioksida ekuivalen atau CO2e yang sejenis atau setara yang bisa merusak atmosfer dan kenaikan suhu global.

“Ketika climate change terjadi, Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampaknya, karena kita merupakan negara kepulauan dan rawan dengan bencana. Kita ingin melindungi masyarakat dari ancaman bahaya krisis ini,” jelas Febrio dalam program Power Lunch CNBC Indonesia TV, Senin (11/10/2021).

Dalam peta jalan atau roadmap yang telah disusun pemerintah, setiap 1 kilogram emisi karbon dioksida (CO2e) dari pembangkitan batubara akan dikenakan tarif Rp 30.

Kata Febrio, dipilihnya PLTU batubara sebagai sasaran pertama dalam pengenaan pajak karbon sangat beralasan. Yakni sebagai salah satu upaya pemerintah dalam mengejar target kewajiban Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) dari penerapan Paris Agreement.

Dalam Paris Agreement tersebut, Indonesia berkewajiban untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca secara mandiri sebesar 29% paling lambat pada 2030 atau sebesar 41% jika dengan dukungan internasional.

“Nah itu kita bersama-sama di Paris Agreement dengan banyak negara waktu itu memberikan pledge bahwa kita (Indonesia) akan menurunkan emisi gas rumah kaca pada 2030 dan itu kita lakukan mulai dari sekarang,” ujarnya.

“Untuk mencapai NDC itu, itu perlu melakukan aksi-aksi, mitigasi maupun investasi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Seluruh dunia sedang melakukan ini,” kata Febrio melanjutkan.

Untuk diketahui, dalam Paris Agreement, ada lima sektor yang akan direduksi emisinya hingga tahun 2030, berupa limbah, industrial processing and product use (IPPU), pertanian, dan kehutanan.

Pelaksanaan pajak karbon ini juga, sebagai upaya pemerintah untuk menunjukkan komitmennya untuk mengubah struktur perekonomian yang lebih ramah lingkungan.

Pasalnya seluruh dunia saat ini tengah mengedepankan energi hijau terbarukan atau renewable energy. Dunia tidak akan lagi memasukan fossil fuel yang polusinya tinggi sebagai prioritas dalam mendapatkan pembiayaan.

Di tambah, saat ini Uni Eropa tengah merancang pengenaan tarif tertinggi untuk bea masuk impor barang-barang yang belum melakukan mitigasi terhadap emisi karbon.

“Saat ini misalnya untuk energi berbasis fosil fuel akan semakin sulit untuk mendapatkan pembiayaan,” jelas Febrio.

“Kalau misalnya Indonesia tidak melakukan ini dengan serius, sehingga emisi karbon tidak terkendali. Ketika ekspor barang ke luar negeri atau negara lain, bisa saja dikenakan bea masuk yang berbasis emisi. Itu membuat kita jadi tidak kompetitif dalam jangka menengah,” kata Febrio melanjutkan.

Pajak Karbon, lanjut Febrio sebagai upaya antisipatif pemerintah untuk semakin siap dengan arah perkembangan perekonomian global yang semakin berbasis hijau.

Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan, pengenaan tarif pajak karbon juga akan menyasar industri lainnya yang berpotensi menghasilkan polusi udara.

“Ini kita lakukan dengan roadmap dan tidak bisa kita lakukan dengan gegabah. Karena perlu melihat kesiapan perekonomian dan sektor-sektor yang terkena dampak. Dalam jangka pendek, melihat ada peluang yang sangat kuat bagi kita untuk membangun pasar karbon,” tuturnya.

Sumber : cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only