Cari Penambal Defisit Jangan Imbuh Penyakit

Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar berteriak lantang. “Kepada seluruh anggota Dewan, apakah RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dapat disetujui dan disahkan menjadi UU?” teriak Muhaimin, sembari menggenggam erat palu sidang.

Seketika, para wakil rakyat yang hadir di dalam ruang rapat paripurna DPR kompak berteriak: “Setuju!” Tok! Muhaimin mengetok palu. Kamis siang (7/10) itu, RUU HPP resmi ditetapkan sebagai UU.

Proses legislasi yang penuh kontroversi itu ternyata begitu lancar dan cepat kelamnya. Padahal, pembahasan RUU yang awalnya bernama Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu sempat memicu perdebatan publik. Namun, setelah itu, pembahasan RUU HPP di parlemen berlangsung hening dan senyap. Hingga akhirnya, publik terkaget-kaget saat mendapati kabar RUU usulan pemerintah tersebut ketok palu.

Bisa dibilang pembahasannya memang super-kilat karena baru dibahas secara intens di parlemen sejak Mei lalu. Artinya, hanya dalam tempo empat bulan, RUU HPP berhasil digolkan pemerintah. Tentu pembahasan yang singkat dan senyap ini tak lepas dari suksesnya pemerintah meyakinkan DPR tentang pentingnya RUU HPP bagi kesinambungan ekonomi ke depan.

Kendati pembahasan RUU HPP di parlemen jauh dari ingar bingar, publik tetap mencium ada misi tersembunyi dibalik proses legislasi ini. “Beleid ini sengaja dikebut untuk mencapai target penurunan defisit APBN kembali ke 396 setelah sebelumnya sempat direlaksasi untuk penanganan pandemi,” ujar Ahmad Tauhid, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Kita tahu, meruyaknya pandemi telah memporak-porandakan keuangan negara lantaran harus merogoh dana besar buat menanggung biaya pemulihan ekonomi dan biaya penanganan kesehatan. Tak pelak, keuangan negara pun defisit dibuatnya. Dan kondisi ini telah berlangsung dalam dua tahun terakhir.

Pemerintah bahkan sampai menerbitkan mandat UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk penanganan Covid-19. Selaras dengan beleid tersebut, pemerintah diizinkan melonggarkan defisit anggaran di atas 3% terhadap PDB sejak 2020-2022.

Defisit APBN tahun 2020, misalnya, mencapai 6,1% dari PDB. Ini adalah tingkat defisit yang belum pernah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Sementara tahun ini, pemerintah mencatat outlook definit anggaran mencapai 5,82% terhadap PDB atau setara dengan Rp. 961,5 triliun. Angka itu jauh lebih dalam dibandingkan dengan target APBN 2021 yang sebesar 5,7% terhadap PDB mau Rp. 939,6 triliun.

Pelebaran defisit itu dipicu outlook penerimaan pajak yang lagi-lagi direvisi ke bawah oleh pemerintah. Mengacu Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) 2021, target penerimaan pajak tahun ini mencapai Rp 1.229,6 triliun. Namun, Juli lalu otoritas fiskal merevisi target itu ke angka Rp. 1.176,3 triliun atau bertumbuh 9,5% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu.

Nah, baru-baru ini, pemerintah kembali memangkas outlook penerimaan pajak tahun ini menjadi Rp 1.142,5 triliun atau 92,91% dari target APBN 2021. Revisi berkali-kali itu mencerminkan bahwa pemerintah pesimistis dalam mempertahankan tren pemulihan ekonomi ke depannya.

Tak heran, memang mengingat arus penerimaan pajak yang mengalir ke kas negara masih sangat kecil. Hingga akhir Agustus 2021, penerimaan pajak tercatat hanya tumbuh 9,5% dibandingkan dengan Agustus 2020 menjadi Rp 741,3 triliun. Artinya penerimaan paJak baru 80% dari target 2021 versi revisi ketiga kali yang sebesar Rp 1.142,6 triliun.

Di saat penerimaan masih Jeblok, sialnya belanja negara masih terus menanjak. Sebagai gambaran, proyeksi belanja negara tahun ini mencapai Rp. 2.750 triliun. Kondisi lebih besar pasak daripada tiang ini kemungkinan bakal berlanjut hingga tahun depan, mengingat aktivitas bisnis dan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih di tengah bayang-baying wabah korona yang juga belum Jelas kapan berakhirnya.

Sementara, di tahun berikutnya atau 2023, pemerintah harus merujuk kembali ketetapan dalam UU Nomor 17 tahun 2003 yang mengatur batas defisit APBN 39 Artinya, kalau merujuk kondisi fiskal tahun ini, maka pemerintah harus mampu menggenjot penerimaan negara hingga Rp 600 triliun hingga Rp. 700 triliun pada 2023 mendatang. Tentu saja penerimaan pajak memainkan peranan penting dalam upaya memperkecil rasio defisit tersebut.

RUU HPP

Nah, dalam semangat itulah RUU HPP Lahir dengan harapan bisa menjadi amunisi baru dalam menggenjot penerimaan pajak. Kendati dikemas dalam bungkus reformasi perpajakan, regulasi anyar ini jelas menunjukkan betapa pemerintah sedang ngebet mengejar penerimaan perpajakan.

Sumber : Tabloid kontan tgl 11 okt – 17 okt 2021 hal 20-21

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only