Efek Ke Penerimaan Tak Signifikan

JAKARTA — Rendahnya tarif yang dikenakan atas pajak karbon membatasi ruang gerak pemerintah untuk menambah penerimaan negara. Terlebih, pungutan yang dikumpulkan dari emisi karbon akan diprioritaskan untuk penanganan perubahan iklim.

Dengan demikian, implementasi pajak karbon yang tertuang di dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) itu tidak secara signifikan membuat fiskal pemerintah lebih leluasa.

Tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diusulkan oleh pemerintah yakni sebesar Rp 75 per kilogram CO2e.

Pajak karbon memang diwujudkan sejalan dengan komitmen Indonesia di dalam komunitas global untuk menangani perubahan iklim. Akan tetapi, secara konsep pengenaan pajak dari emisi karbon seharusnya tetap mempertimbangkan faktor penerimaan negara.

Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan pengenaan pajak karbon merupakan opsi yang paling menarik bagi pemerintah untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penerimaan negara.

Persoalannya, tarif yang ditentukan dalam UU HPP kurang dari separuh dari yang diajukan pemerintah dalam pembahasan awal UU tersebut.

“Tentunya ini akan mengurangi efektivitas instrumen pajak karbon untuk mengurangi emisi karbon serta menghasilkan penerimaan negara,” ujarnya, Rabu (13/10).

Problematika lain dari hal ini adalah penggunaan dana hasil pungutan pemerintah dari emisi karbon yang sebagian besar akan dialokasikan untuk penanganan perubahan iklim.

Secara terperinci, pajak karbon akan disalurkan ke dalam berbagai upaya penanganan iklim serta investasi hijau melalui instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, ada usulan seluruh dana yang dipungut itu akan dialokasikan seluruhnya untuk penanganan perubahan iklim.

Saat dihubungi Bisnis, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak memberikan pembenaran maupun sangkalan mengenai hal tersebut.

Dia hanya mengatakan bahwa penerimaan yang diperoleh dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk penanganan perubahan iklim melalui mekanisme APBN.

“Tujuan utama dari pengenaan pajak karbon adalah mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon,” paparnya.

Neil menambahkan bahwa pajak karbon akan mulai diimplementasikan pada 1 April 2022 pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bara dengan skema yang mengacu pada batas emisi atau cap and tax.

Artinya, tarif Rp 30 per kilogram CO2e diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan.

Menurut dia, pengenaan pada sektor PLTU batu bara diterapkan pada tahap awal karena sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor tersebut.

“Perluasan sektor pemajakan pajak karbon dilakukan dengan pentahapan sesuai dengan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDC [Nationally Determined Contribution], kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi,” jelasnya.

Di sisi lain, subjek pajak karbon sejauh ini masih belum dijelaskan secara terperinci oleh pemerintah. Pasal 13 UU HPP hanya menuliskan bahwa subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Neil pun tidak bersedia memberikan penjelasan apakah orang pribadi atau badan yang menjalankan aktivitas bisnis di sektor hulu batu bara termasuk ke dalam subjek pajak atau hanya bertugas sebagai pemungut pajak.

Sementara itu, PT PLN (Persero) mengkhawatirkan pengenaan pajak karbon terhadap PLTU akan berdampak pada kenaikan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan pengenaan pajak yang ditetapkan pemerintah akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi yang harus dibayarkan.

“Pengenaan pajak karbon akan menaikkan BPP dan tentu saja dengan skema tarif saat ini akan berkorelasi dengan subsidi dan kompensasi,” katanya kepada Bisnis.

Kendati demikian, PLN tetap mendukung rencana pemerintah untuk mengimplementasikan pa-jak karbon terhadap sektor PLTU batu bara.

Sejalan dengan itu, perusahaan pelat merah itu tengah mengejar pengembangan pembangkit listrik tenaga uap menggunakan teknologi untuk menekan emisi karbon.

Bob mengatakan bahwa perusahaan setrum itu berupaya untuk beroperasi lebih efisien serta lebih ramah lingkungan. Langkah ini diambil demi mengurangi emisi karbon dari pembangkit.

“Kami juga sedang mengkaji penerapan teknologi carbon capturing [CCUS],” katanya.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only