UU HPP Jadi Terobosan Tepat di Tengah Pemulihan Ekonomi

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) berorientasi untuk memutus persoalan fundamental sektor perpajakan Indonesia. UU HPP juga merupakan bagian dari kesinambungan agenda reformasi pajak.

Partner Tax Research and Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan UU HPP hadir pada momentum yang tepat sebagai langkah antisipatif untuk mengimbangi pemulihan ekonomi. UU HPP juga berupaya untuk menyelaraskan kebijakan pajak dengan konsep dasar dan international best practices.

“Reformasi pajak melalui UU HPP juga tidak terpisahkan dari aspek politik ekonomi. Artinya, ada interaksi antara maksud dari pemerintah tentang agenda reformasi pajak, reaksi masyarakat, serta para pemangku kepentingan di sektor pajak,” jelas Bawono, Kamis (21/10/2021).

Kendati telah disahkan DPR, implementasi UU HPP masih menghadapi sejumlah tantangan. Bawono menjelaskan tantangan itu meliputi ketersediaan ketentuan teknis, pemahaman wajib pajak, administrative feasibility, dan proses pemulihan ekonomi

Seperti diketahui, melalui UU HPP, pemerintah secara sekaligus mengubah dan mengatur berbagai ketentuan perpajakan. Mulai dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP), program pengungkapan sukarela, pajak karbon, dan cukai.

Dari sisi PPh, pemerintah mengubah tarif dan bracket PPh orang pribadi agar lebih mencerminkan keadilan. Selain itu, ada pengenaan pajak atas natura dan penetapan batas peredaran bruto tidak kena pajak bagi orang pribadi pengusaha.

Tarif PPh badan juga diputuskan tetap sebesar 22% pada 2022 dan seterusnya. Ada pula perubahan ketentuan debt to equity ratio (DER), pengaturan bantuan penagihan pajak lintas negara, dan pengaturan kerja sama internasional.

Sementara itu, perubahan dari sisi PPN antara lain pembebasan PPN atas barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, dan beberapa jasa lainnya. Ada pula peningkatan tarif PPN menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan 12% paling lambat 1 Januari 2025 serta tarif PPN final atas jenis barang/jasa tertentu atau sektor usaha tertentu.

Kemudian, perubahan dari sisi KUP di antaranya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi, perubahan besaran sanksi pada saat pemeriksaan serta sanksi dalam upaya hukum, dan ketentuan kuasa wajib pajak.

Ada pula penunjukkan pihak lain sebagai pemotong/pemungut pajak, kerja sama penagihan pajak antarnegara, dan prosedur persetujuan bersama (mutual agreement procedures/MAP), serta penegakan hukum pidana pajak dengan mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara.

Dalam webinar ini, Bawono juga menjelaskan tentang program pengungkapan sukarela, pajak karbon, dan perubahan dalam UU Cukai. Selain itu, dia juga menerangkan mengenai dampak ekonomi dan fiskal dari UU HPP.

“UU HPP merupakan sesuatu yang bagus. Kalau tidak ada terobosan, kita akan punya tax ratio yang stagnan dan sebenarnya tidak sesuai dengan levelnya Indonesia,” pungkasnya.

Webinar bertajuk Kupas Tuntas Undang – Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini digelar Program Studi D-3 Administrasi Perpajakan Fisip Universitas Sumatera Utara (USU).

Ketua Program Studi D3 Administrasi Perpajakan Fisip USU Muhammad Husni Thamrin berharap webinar ini dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa. Dengan demikian, kualitas mahasiswa dapat meningkat sehingga mampu turut menjalankan kebijakan serta menyosialisasikannya kembali.

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only