Bebas Pajak atau Perlindungan UMKM

Di tengah kelesuan kondisi perekonomian nasional imbas pandemi Covid-19, keputusan pemerintah membebaskan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari kewajiban membayar pajak sedikit meniupkan angin segar. Seperti dilaporkan KONTAN edisi 9 Oktober 2021, mulai tahun 2022 nanti bagi para pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun bebas dari pajak penghasilan (PPh).

Ketentuan yang menggembirakan ini merupakan salah satu poin yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru disahkan DPR. Berbagai usaha mikro dan kecil, seperti warung kopi, toko, hingga warung makanan berpenghasilan di bawah Rp 500 juta per tahun yang semula dikenakan PPh final 0,5%, kini dihapuskan menjadi 0%.

Selama ini, UMKM yang berpendapatan hanya Rp 10 juta sampai Rp 100 juta per tahun, biasanya tetap kena pajak 0,5%. Tetapi, kini mereka bisa sedikit bernafas lega. Para pelaku UMKM dengan peredaran bruto di bawah Rp 500 juta tak lagi bayar tarif 0,5%.

Di atas kertas, kebijakan pemerintah membebaskan pelaku usaha mikro dan kecil tidak membayar PPh memang akan bermanfaat, terutama mengurangi pengeluaran yang menjadi beban UMKM. Tetapi, apakah kebijakan pembebasan pajak itu akan mampu mendorong para pelaku usaha mikro dan kecil bisa kembali bangkit dari keterpurukan, sesungguhnya masih menjadi tanda tanya.

Selama ini, berbagai upaya sebetulnya telah dikembangkan pemerintah untuk membantu pelaku UMKM agar tidak kolaps.

Pertama, pemerintah selama ini telah menyediakan insentif dukungan bagi UMKM melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sejak 2020 dan dilanjutkan di 2021. Selama 2020, alokasi anggaran dari Program PEN untuk mendukung UMKM tercatat sebesar Rp 112,84 triliun telah dinikmati lebih dari 30 juta UMKM. Sementara untuk 2021, pemerintah juga telah mengalokasikan dana sebesar Rp 121,90 triliun untuk menjaga kelanjutan momentum pemulihan ekonomi.

Harapan pemerintah, dengan mengalokasikan anggaran pada program bantuan ekonomi bagi UMKM dan juga kebijakan pembebasan pajak bisa menjadi bantalan dukungan bagi dunia usaha, khususnya bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk bertahan dalam menghadapi dampak pandemi. Selain itu, kebijakan pemberian bantuan kepada pelaku UMKM ini diharapkan dapat membantu menekan penurunan jumlah pencari kerja. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2020, terdapat penciptaan kesempatan kerja baru dengan penambahan 0,76 juta orang yang membuka usaha dan 4,55 juta buruh informal.

Kedua, selama masa pandemi Covid-19, pemerintah juga telah berupaya mendorong para pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI). Menurut catatan, hingga akhir 2020 lalu terdapat 11,7 juta UMKM yang on boarding. Diharapkan pada 2030 mendatang, jumlah UMKM yang go digital mencapai 30 juta UMKM.

Meski UMKM dikenal sebagai pelaku ekonomi yang kenyal dan tahan pukul, imbas pandemi Covid-19 benar-benar sulit dilawan. Menghadapi kondisi kelesuan pasar yang terjadi hingga 20 bulan lebih, tentu bukan hal yang mudah bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Kegagapan para pelaku UMKM masuk dalam pusaran penggunaan teknologi informasi dan internet, harus diakui merupakan kendala yang sangat berat. Dari 64,19 juta UMKM di Indonesia, sebanyak 64,13 juta masih merupakan usaha mikro kecil yang masih berada di sektor informal, sehingga sebagian besar sulit beradaptasi dengan era digital.

Selama ini, kendala yang dihadapi pelaku UMKM bukan semata soal keterbatasan modal usaha, tapi yang tak kalah penting adalah kurangnya literasi dan akses menembus pasar yang lebih luas. Walaupun sebagian pelaku UMKM kini telah familiar dengan model pemasaran digital, sebagian besar lainnya masih belum terbiasa dan mengalami kesenjangan digital. Akibat keterbatasan ekonomi dan tidak dimilikinya literasi digital yang memadai, ditengarai tidak sedikit pelaku UMKM yang ketinggalan dalam iklim persaingan dan pemasaran produk yang berbasis digital.

Perlindungan usaha mikro dan kecil

Sebagian pelaku UMKM yang telah dilatih dan sadar arti penting penggunaan internet, mereka umumnya telah menjual produknya secara online melalui media sosial ataumarketplace. Di berbagai daerah, sejumlah pelaku UMKM mampu bertahan dan bahkan mengembangkan usahanya karena memanfaatkan pemasaran online. Tapi, bagi sebagian besar pelaku usaha mikro dan kecil, tampaknya masih gagap dengan pemasaran online.

Pemahaman para pelaku usaha mikro dan kecil tentang pemasaran digital masih belum berkembang, sehingga peluang mereka mengembangkan pasar yang lebih luas menjadi tidak mungkin dilakukan. Jangankan memanfaatkan peluang pasar melalui sistem pemasaran di dunia maya, bahkan untuk membeli gawai memadai dan mengakses internet pun seringkali mereka masih kesulitan.

Dengan kebijakan pembebasan pajak, bantuan modal usaha dan dukungan agar pelaku UMKM terlibat dalam proses digitalisasi, di atas kertas memang menjadi solusi bagi masa depan UMKM di Indonesia. Namun demikian, untuk mempersiapkan pelaku usaha mikro dan kecil yang benar-benar siap berkompetisi dan memanfaatkan era digital, sungguh bukanlah hal yang mudah.

Lebih dari sekadar dukungan modal dan literasi digital yang memadai, apa yang dibutuhkan pelaku usaha mikro dan kecil agar mampu survive di tengah iklim persaingan usaha yang makin ketat tak pelak adalah perlindungan. Di tengah iklim persaingan yang makin ketat, terlebih para pesaing juga tidak hanya berasal dari sesama pelaku usaha mikro dan kecil, peluang untuk mengembangkan pasar seringkali seperti menghadapi jalan buntu.

Pelaku usaha mikro dan kecil yang ingin mengembangkan pangsa pasar melalui pemasaran digital, mereka niscaya akan menghadapi para pesaing dari kelas ekonomi yang lebih tinggi. Para pelaku usaha menengah dan bahkan besar, mereka belakangan telah merambah pangsa pasar di level di bawahnya. Dengan dukungan modal, kemampuan, dan akses pada pasar yang relatif lebih mapan, tentu sulit bagi pelaku usaha mikro dan kecil untuk bisa bersaing secara objektif.

Berbeda dengan usaha menengah yang rata-rata telah mapan dan memiliki jaringan yang kuat pada pangsa pasar, pelaku usaha mikro dan kecil umumnya lemah dalam berbagai hal. Kebijakan pembebasan pajak, sepintas memang terkesan menguntungkan. Tetapi, tanpa didukung kebijakan perlindungan yang berpihak kepada usaha mikro dan kecil, sesungguhnya sulit diharapkan para pelaku usaha mikro dan kecil bisa bertahan, apalagi mengembangkan pangsa pasar di dunia maya.

Daripada membebaskan pelaku usaha mikro dan kecil dari kewajiban membayar pajak, kebijakan yang melarang usaha berkala menengah dan besar masuk di wilayah kerja pelaku usaha mikro dan kecil niscaya lebih terasa manfaatnya. Bagaimana pendapat Anda?

Sumber : Harian Kontan Sabtu 16 Oktober 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only