4,1% Belanja Negara untuk Mitigasi Dampak Perubahan Iklim

JAKARTA,  – Kementerian Keuangan mengaku berkomitmen untuk terus memangkas emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) dalam kerangka perjanjian Paris Agreement di antaranya melalui alokasi 4,1% belanja negara untuk memitigasi dampak perubahan iklim. Dukungan terhadap penurunan emisi karbon juga dilakukan lewat pemberian insentif perpajakan dan sokongan terhadap upaya pengembangan energi baru terbarukan (EBT).

“Dalam kurun waktu lima tahun terakhir pemerintah menggunakan rata-rata 4,1% dari APBN untuk memitigasi dampak perubahan iklim,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Pande Putu Oka Kusumawardhani dalam diskusi daring “Menimbang Untung Rugi Pajak Karbon” yang berlangsung pekan lalu.

Pemerintah pun memberikan dukungan bagi pembiayaan inovatif berbasis lingkungan dari swasta, domestik, hingga kerja sama bilate ral dan multilateral.

“Dari sisi pembia yaan, pemerintah sudah menerbitkan green sukuk sejak 2018 yang antara lain untuk membiayai transportasi ber kelanjutan, memitigasi bencana alam, pengalihan limbah, akses energi baru terbarukan (EBT), serta efisiensi energi,” tutur dia.

Menurut Pande, pemerintah menargetkan Indonesia tidak lagi menghasilkan emisi karbon atau net zero emission (NZE) pada 2060 mendatang. Untuk ini, pemerintah juga tengah berdiskusi untuk membuat climate change fiscal framework guna memperkuat pembiayaan berkelanjutan di dalam negeri.

“Namun, sumber pembiayaan ini diperkirakan belum bisa men-cover keseluruhan kebutuhan pembiayaan berkelanjutan sehingga masih ada ruang yang bisa ditingkatkan ke depan,” ucap dia.

Karena itu, pemerintah dan DPR baru-baru ini menyepakati pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) yang juga mengatur tentang pajak karbon. Selain untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang berkelanjutan, aturan tentang pajak karbon menjadi sinyal bahwa pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia mulai mengarah pada energy yang lebih hijau.

“Dalam draf UU HPP yang sudah disepakati DPR dan tinggal tunggu proses penyelesaiannya saja, pajak karbon direncanakan mulai dipungut 1 April 2022, dimana untuk tahap awal pajak karbon akan diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara),” kata dia.

Tarif pajak karbon pun, kata Pande, cukup murah yakni sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen dan pemungutan pajak karbon akan dilakukan secara hati-hati.

“Akan diperhatikan beberapa faktor, misalnya kesiapan sektor, kondisi perekonomian, dan pemenuhan target dari NDC (Nationally Determined Contribution) dan dicoba untuk diselaraskan dengan perkembangan pasar karbon di Indonesia,” ucap dia.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2022, perubahan iklim masuk dalam Prioritas Nasional 6, yaitu Mem bangun Lingkungan Hidup, Meningkatkan Ketahanan Bencana, dan Perubahan Iklim. Sementara dalam Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Tahun 2018-2020 yang diterbitkan Kemenkeu, anggaran perubahan iklim 2020 tercatat Rp 77,81 triliun, lebih rendah dari realisasi 2019 dan 2018 yang masing-masing sebesar Rp 83,54 triliun dan Rp 126,04 triliun.

Terbukti Berhasil

Pada kesempatan yang sama Pande menyatakan, bahwa Kementerian Keuangan (Kemenkeu) optimistis perdagangan karbon bisa diimplementasikan secara penuh pada 2025 mendatang. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah telah melakukan proyek percontohan perdagangan karbon untuk usaha Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

“Untuk mempersiapkan sistem perdagangan emisi karbon yang rencananya wajib diterapkan pada 2025, sejak awal 2021 kemarin, Dirjen (Direktur Jenderal) Ketenagalistrikan (Kementerian ESDM) telah melakukan uji coba dengan skema sukarela,” kata Pande.

Proyek percontohan tersebut diikuti pula 32 unit PLTU batu bara. Pada proyek percontohan tersebut, pemerintah telah berhasil melakukan transaksi transfer karbon melalui perdagangan karbon dengan harga sekitar Rp 30 per kilogram setara karbon dioksida.

“Dari proyek percontohan itu, Indonesia bisa dikatakan sudah bisa melakukan perdagangan karbon,” kata Pande.

Selain terbukti berhasil menerapkan perdagangan karbon berdasarkan proyek percontohan yang dilakukan, sektor ini dipilih karena pengurangan emisi di sektor energi dan kehutanan atau pertanian mencapai hampir 97% dari total penurunan emisi yang ditargetkan. Menurut Pande, pada 2025, secara bertahap pemerintah akan memperluas sektor yang dipungut pajak karbon.

“Pajak karbon yang diperkenalkan dalam UU HPP punya tujuan utama yaitu mendukung mitigasi dampak perubahan iklim, yang fokus utamanya sebetulnya mengubah perilaku entitas usaha ke arah yang lebih ramah lingkungan atau rendah karbon,” ucap dia.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only