Omzet Rp500 Juta Bebas Pajak Diharapkan Tidak Hanya Perkuat UMKM

Selain sebagai wujud keberpihakan kepada wajib pajak orang pribadi UMKM, ketentuan batasan peredaran bruto tidak kena pajak diharapkan mampu menstimulus pelaku usaha besar. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (27/10/2021).

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan batasan peredaran bruto (omzet) tidak kena pajak senilai Rp500 juta dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menjadi wujud keberpihakan kepada UMKM. Dengan demikian, wajib pajak orang pribadi pengusaha bisa terus menjalankan aktivitasnya.

“Kita kuatkan UMKM untuk mendorong pengusaha-pengusaha yang gede juga. Ini karena UMKM ada di sekelilingnya perusahaan-perusahaan gede. Yang paling resilient pada beberapa kondisi ekonomi luar biasa kemarin adalah pengusaha UMKM ini,” ujar Suryo.

Selain mengenai batasan omzet tidak kena pajak untuk wajib pajak orang pribadi UMKM, ada pula bahasan terkait dengan kinerja penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi nonkaryawan yang masih terkontraksi. Ada pula bahasan terkait solusi 2 pilar atas tantangan digitalisasi ekonomi.

Omzet Tidak Kena Pajak WP OP UMKM

Sesuai dengan ketentuan dalam UU HPP, wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto tertentu – yang diatur dalam PP 23/2018 – tidak dikenai PPh atas bagian omzet sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak.

“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 [perubahan atas UU PPh] mulai berlaku pada tahun pajak 2022,” bunyi Pasal 17 ayat (1) UU HPP.

Sosialisasi UU HPP

DJP akan mulai melaksanakan sosialisasi UU HPP di seluruh provinsi setelah seluruh aturan turunan atau aturan pelaksana sudah dirilis. Saat ini, masih terdapat beberapa aturan turunnan, seperti peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri keuangan (PMK), yang tengah disiapkan.

“Kita tunggu dulu rancangan PP dan PMK serta aturan pelaksana di bawahnya. Nanti kami jalankan [sosialisasi],” kata Neilmaldrin Noor, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP.

Penerimaan PPh Orang Pribadi

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi hingga akhir September 2021 masih mengalami kontraksi 0,3%. Kontraksi terjadi ketika pada periode yang sama, penerimaan jenis pajak lainnya sudah mengalami pertumbuhan positif.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan penerimaan PPh orang pribadi secara kuartalan mengalami pergerakan yang cukup dinamis. Meski demikian, otoritas menilai kinerja PPh orang pribadi akan terus membaik di sisa 3 bulan tahun ini.

Pemanfaatan Diskon Angsuran PPh Pasal 25

Hingga pertengahan Oktober 2021, sebanyak 57.529 wajib pajak sudah memanfaatkan insentif pengurangan 50% angsuran PPh Pasal 25.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 menjadi salah satu jenis insentif yang ditujukan untuk membantu likuiditas dan kelangsungan usaha. Secara nilai pemanfaatan, insentif ini tercatat paling banyak.

“Untuk [pemanfaatan insentif] PPh Pasal 25 adalah Rp24,42 triliun [hingga pertengahan Oktober 2021],” ujar Sri Mulyani.

Digitalisasi Ekonomi

Pembahasan mengenai kesepakatan terhadap solusi 2 pilar (two-pillar solution) untuk mengatasi tantangan pajak dari digitalisasi ekonomi masih terus berlanjut.

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan sampai dengan saat ini, Indonesia telah menyepakati implementasi Pilar 1 dan Pilar 2. Otoritas tengah mendiskusikan aspek teknis dan persiapan penerapan yang rencananya mulai 2023. Ada beberapa perhatian pemerintah dalam diskusi tersebut.

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat konsensus global akan berkontribusi pada upaya peningkatan penerimaan di tengah pemulihan ekonomi. Apalagi, pada 2023, Indonesia menargetkan konsolidasi fiskal dengan defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

“Ini juga tidak hanya [berlaku untuk] perusahaan digital, tetapi perusahaan multinasional dengan threshold global revenue di atas 20 miliar euro,” ujar Bawono.

Fleksibilitas Penentuan Barang dan Jasa Bebas PPN

UU HPP memberikan fleksibilitas kepada pemerintah dalam menentukan barang dan jasa yang mendapatkan pembebasan PPN.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan hal tersebut dimungkinkan karena barang dan jasa yang selama ini dikecualikan dari PPN, sekarang menjadi barang dan jasa yang dibebaskan dari PPN sesuai dengan Pasal 16B UU PPN.

“Ketika pindah dari Pasal 4A ke 16B, memang ada ruang untuk mengatur yang mana yang mau dibebaskan sebenarnya. Yang untuk masyarakat menengah dan bawah seperti sembako memang benar-benar tidak akan ada PPN di situ,” ujarnya.

Perluasan Bansos

Pemerintah akan memperluas cakupan perlindungan sosial dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021. Selain untuk meningkatkan daya dorong konsumsi, kebijakan yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk mengakselerasi penyerapan anggaran.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan salah satu program yang akan diperluas adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) kepada 1,6 juta pekerja. Selain BSU, perluasan juga menyasar program Kartu Sembako dengan mengoptimalisasi pos dari Kementerian Sosial.

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only