Pengusaha Galau! Mau Ikut Tax Amnesty II Tapi Tetap Diperiksa

Pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty yang akan dimulai pada 1 Januari – 30 Juni 2022 masih mendapatkan beberapa catatan oleh pengusaha. Salah satunya adalah, mengenai kejelasan pengawasan pajak yang sedang tersangkut hukum.

Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Suryadi Sasmita mempertanyakan, apakah wajib pajak yang sedang dalam pengawasan dan himbauan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bisa digugurkan dan bisa mengikuti tax amnesty jilid II atau tidak.

“Apakah himbauan itu bisa diberhentikan. Itu masih gak jelas sekali. Takutnya kalau dia mau buka, udah bikin surat keterangan mau ikut, tau-tau pemeriksaan jalan terus. Itu perlu ada kepastian hukum dahulu,” ujarnya kepada CNBC Indonesia saat dihubungi, dikutip Selasa (2/11/2021).

Pengusaha juga menyayangkan karena tax amnesty jilid II tidak bisa diikuti oleh wajib pajak badan atau perusahaan. Padahal, peluang bagi perusahaan yang akan ikut pengampunan pajak sangat besar.

“Sayangnya perusahaan, pada kebijakan kedua tidak bisa mengikuti, hanya orang pribadi. Itu sangat disayangkan,” tuturnya.

“Karena mungkin banyak perusahaan-perusahaan yang juga saat itu 2016 sampai 2020 mereka ada transfer pricing, ada itu. Nah, mereka kan ada dana lebih yang mana mereka juga mau declare. Tapi itu gak diberi kesempatan,” kata Suryadi melanjutkan.

Hal berikutnya yang disayangkan pengusaha, kata Suryadi adalah tarif PPh Final 6% yang menginvestasikan harta kekayaannya ke dalam Surat Berharga Negara (SBN) atau untuk hilirisasi sumber daya alam (SDA) dan energi terbarukan, yang belum jelas hilirisasi apa yang dimaksud. “Hilirisasi yang mana, belum jelas hilirisasi itu apa saja.”

Menurut Suryadi, jika seseorang mau berinvestasi pada energi baru terbarukan, bisa diambil bukan melalui tax amnesty. Tapi melalui skema pembiayaan yang lain. Selain itu, target subjek pajaknya lebih pas diberikan untuk perusahaan.

“Itu dia bisa pinjaman dengan suku bunga murah, karena itu untuk green kan. Kalau mereka memberikan untuk perusahaan, itu mungkin akan lebih tertarik,” tuturnya.

“Kalau untuk pribadi, dengan tarif segitu (6% untuk Kebijakan I dan 12% untuk Kebijakan II) itu kurang tertarik,” ujarnya.

Seperti diketahui, pada tax amnesty jilid II pemerintah berencana melaksanakan tax amnesty dengan dua kebijakan. Kebijakan I dan II.

Pada kebijakan I, subjek pada kategori ini adalah wajib pajak yang pernah mengikuti tax amnesty jilid II, baik itu orang pribadi dan wajib pajak badan. Dengan basis aset yaitu per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti tax amnesty jilid I.

Peserta bisa mendapatkan tarif PPh final rendah apabila sebagian besar hartanya diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi/renewable energi. Dengan rentang tarif PPh Final sebesar 6% hingga 11%.

Kemudian pada kebijakan II, subjek pajaknya adalah wajib pajak orang pribadi dengan basis aset perolehan 2016-2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020 dengan rentang PPh Final sebesar 12% hingga 18%.

Oleh karena itu, Suryadi mempertanyakan, sebetulnya apa dibalik pelaksanaan tax amnesty bagi pemerintah ini, apakah untuk menambah penerimaan negara atau untuk memutar roda ekonomi.

Suryadi juga sebelumnya menyarankan kepada pemerintah agar sebaiknya uang dari hasil deklarasi wajib pajak bisa digunakan untuk tambahan modal usaha, dibandingkan hanya mengendap di surat berharga negara (SBN) pemerintah.

“Tujuannya apa, pemerintah butuh dana atau untuk ekonomi? Itu saja pertanyaan saya. Kalau untuk ekonomi, harusnya semua investasi itu dibuka. Tapi, bisa dibuktikan yang untuk membuka lapangan usaha dan bisa untuk bayar pajak,” ujarnya.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only