Potensi Pajak Karbon dan PNBP Kehutanan

Perpajakan Indonesia memasuki babak baru dengan adanya pajak karbon yang ada pada pasal 13 Undang-Undang Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak karbon ini menegaskan komitmen Indonesia dalam menjalankan ekonomi hijau sekaligus mengatasi perubahan iklim. Pajak karbon juga akan mendukung Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon .

Di dalam ketentuan Undang-undang tersebut pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Mirip dengan cukai, pajak karbon berfungsi sebagai alat untuk disinsentif kegiatan penghasil emisi.

Penjelasan di atas penting dikarenakan sebagian kalangan masih terdapat keraguan mengenai subjek pajak karbon. Lantaran dianggap duplikasi dengan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Kehutanan terkait transaksi karbon (PP No 12/2014, pasal 1 (L)).

Nyatanya subjek pajak karbon justru bertolak belakang dengan subjek PNBP perdagangan karbon tersebut. Pajak karbon dikenakan terhadap emisi karbon yang dihasilkan oleh sesuatu kegiatan. Sedangkan PNBP transaksi karbon dikenakan terhadap kegiatan transaksi dari penyerapan dan atau penyimpanan (Panrap) karbon dari kawasan hutan.

Secara ringkas PNBP panrap karbon dikenakan sebagai pungutan dari jasa lingkungan yang dihasilkan dari kawasan hutan. Contohnya pemanfaatan untuk wisata alam atau jasa pemanfaatan air.

Timbulnya keraguan seperti di atas sebetulnya bisa dipahami. Ini mengingat Indonesia adalah satu penghasil emisi sektor kehutanan terbesar kedua setelah Brasil. Sementara negara maju proporsinya lebih banyak pada sektor energi.

Nah dengan kebijakan dua mata pisau pajak karbon dan PNBP karbon, upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim jadi lebih efektif. Ini karena hasil pengenaan dan pungutan, kedua-duanya dapat dialokasikan untuk upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Dua mata pisau

Mengapa perlu dua mata pisau pajak karbon dan PNBP karbon itu? Ini karena adanya data yang menunjukkan emisi Indonesia dari sektor kehutanan masih besar. Sisi lain, potensi untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui sektor kehutanan juga tinggi.

Adapun tiga besar potensi penyimpanan dan penyerapan karbon di sektor kehutanan Indonesia adalah kawasan hutan hujan tropis, kawasan hutan gambut dalam dan kawasan hutan bakau alias mangrove.

Untuk kawasan hutan mangrove Indonesia adalah salah satu yang terluas di dunia yakni 3,56 juta hektar (ha) mangrove (lebih dari 20% kawasan mangrove dunia). Untuk lahan gambut dalam di kawasan tropis yang ada juga terluas di dunia yakni 7,5 juta ha. Untuk hutan hujan tropis, Indonesia memiliki luasan ketiga terbesar di dunia (125,9 juta ha).

Jika potensi penyimpanan dan penyerapan karbon berbasis alam (nature-based solution) ini dijumlahkan seluruhnya dengan potensi penyerapan dari sektor maritim, seperti padang lamun dan terumbu karang, diperkirakan jumlah kredit karbon di Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia.

Secara kebijakan, sektor kehutanan juga telah menunjukkan kesiapannya dalam mengoptimalkan potensi ini. Yakni dengan berlakunya hak multiusaha dalam perizinan kehutanan.

Hak multiusaha selain dapat meningkatkan PNBP dari sektor kehutanan, juga mendorong pencapaian target nol emisi rumah kaca dari sektor kehutanan. Pengaturan lebih lanjut PNBP multiusaha tengah digodok Pemerintah.

Sebagai ilustrasi hak multiusaha ini dapat dilihat pada pengalaman sebuah konsesi IUPHHK-HA di Kalimantan yang lebih dari 80% kawasan konsesinya merupakan kawasan gambut dalam dan kawasan habitat inti dari orangutan, satwa liar yang dilindungi. Untuk melakukan kegiatan usaha kehutanan yang menghindari kegiatan yang mengganggu ekosistem gambut dalam yang rentan terbakar dan tetap menjaga keanekaragaman hayati habitat orangutan, perusahaan tersebut menjadi salah satu perusahaan pertama yang mengajukan izin multiusaha.

Fokus usahanya adalah pada tiga bidang usaha: usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK), usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan usaha pemanfaatan kawasan melalui agroforestri dan wana mina tani di badan-badan air yang cukup banyak terdapat di konsesinya.

Dengan strategi tersebut pemasukan negara melalui PNBP dari masing-masing bidang usaha dalam kawasan konsesi tetap ada, namun risiko terjadinya pelepasan emisi karbon karena konversi lahan gambut dalam dan ancaman terhadap populasi orangutan dapat dihindari.

Lebih jauh, pajak karbon yang dikenakan terhadap emisi yang dihasilkan oleh sektor kehutanan dapat menyebabkan makin membaiknya tata kelola di sektor ini. Ada baiknya perencanaan dan penerapan dari rencana karya usaha (RKU) sektor kehutanan dilakukan dengan mempertimbangkan faktor emisi yang dihasilkan dalam kegiatan usahanya.

Dengan mempertimbangkan faktor emisi, akan dapat direncanakan bagaimana praktik-praktik pengusahaan hutan yang rendah emisi bisa dilaksanakan sekaligus kecerobohan dalam pengusahaan hutan yang menghasilkan emisi seperti pembalakan yang tidak patuh aturan atau pembukaan lahan hutan dengan membakar dapat dihindari.

Terhadap pengenaan pajak karbon, dari kesepakatan dan upaya global serta nasional yang tercantum di dalam national determined commitment (NDC) penurunan emisi untuk mengendalikan dampak perubahan iklim memang menjadi suatu keniscayaan, yang pada akhirnya pajak karbon sebagai salah satu mekanismenya dari sisi fiskal juga menjadi tidak terelakkan.

Kalaupun pajak karbon bisa dihindari di tingkat nasional, di dalam skala perdagangan global, beberapa blok perdagangan seperti Uni Eropa juga telah mencanangkan Carbon Border Levy (pungutan perbatasan karbon) bagi komoditi yang dianggap menghasilkan emisi.

Tugas lanjut dengan diterapkan pajak karbon secara nasional adalah melakukan mutual recognition secara multilateral agar tidak terjadi pengenaan berganda, dan atau standar ganda.

Catatan terakhir terkait pajak karbon dan PNBP karbon adalah kebijakan katalisnya mengenai Nilai Ekonomi Karbon (carbon pricing). Kebijakan ini dapat menjadi enabler perdagangan karbon, sekaligus juga menjadi dasar untuk melakukan skema perdagangan emisi (emission trading scheme).

Lebih jauh, keterkaitan pajak karbon di dalam skema perdagangan emisi dimungkinkan melalui ketentuan dalam ayat 13 pasal 13 UU HPP. Apabila kondisi tersebut tercapai, pajak karbon akan memainkan peran cukup penting di dalam pencapaian target pengurangan emisi Indonesia. Jadi jelaslah bahwa pajak karbon, bukan pajak biasa. Sosialisasi dan dukungan terhadap pajak karbon perlu terus ditingkatkan.

Sumber : Harian Kontan Rabu 17 November 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only