Sri Mulyani Soal Pajak Karbon: Saya Bukan Sedang Ngamuk Sampai Segala CO2 Dipajaki

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dibuatnya aturan pajak karbon bukan semata-mata pemerintah sembarang menerapkan pajak. Melainkan sebagai upaya peran serta Indonesia dalam menghadapi isu perubahan iklim atau climate change.

“Kami bersama para Menko dan menteri KLHK, KESDM dan yang lain-lain mencoba merumuskan jangan sampai karbon di Indonesia itu bocor dibeli lagi murah, dibeli sama orang luar terus diakui sebagai credit-nya di sana,” kata Menkeu Sri Mulyani dalam sosialisasi UU HPP secara virtual, Selasa (14/12).

“Pajak karbon bukan berarti, wah bu Sri Mulyani sedang ngamuk segala sesuatu CO2 dipajaki, tidak begitu. Karena DPR pasti mengupayakan agar kita tetap proper. Jadi DPR minta supaya pemerintah memiliki peta jalan, jadi kita membuatnya,” tambahnya.

Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan CO2 sebanyak 29 persen, bahkan hingga 41 persen jika dibantu oleh internasional. Komitmen tersebut dijalankan melalui skema carbon trading.

Lanjutnya, pajak karbon akan menjadi instrumen pelengkap dari carbon trading. Oleh karena itu melalui UU HPP ini ditetapkan tarif pajak karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau sekitar USD 2 per ton CO2e.

“Angka ini hampir sama dengan yang di Singapura, tapi kalau dibandingkan negara seperti Kanada yang sudah di USD 45 atau bahkan mendekati USD 75 dalam adjustment tahun ini. Ini sangat murah karbonnya dijual murah, maka kita mencoba membangun,” tegasnya.

Maka dari itu, akhir-akhir ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering mengundang para dubes untuk ikut menanam pohon mangrove. Sebab, di Indonesia, mangrove merupakan kontributor penurunan CO2 yang paling murah, dan mudah.

“Itu biayanya jauh lebih kecil jadi kita menggunakan semua instrumen itu. Tapi kami akan membangun roadmap ini dan dalam kita mendesain policy ini kita berkoordinasi komunikasi dan terus konsultasi dengan para stakeholder termasuk dalam hal ini KADIN dan APINDO,” pungkas Menkeu.

Mulai 1 April 2022, Pemerintah akan menerapkan pajak karbon sebagai upaya menurunkan emisi dalam rangka pengendalian perubahan iklim. Kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ini akan menyasar sektor bisnis pembangkit listrik yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya.

Lantas, apa yang dimaksud dengan pajak karbon?

Dilansir dari wikipedia, pajak karbon sering disebut juga sebagai pajak emisi karbon atau pajak berdasarkan karbon. Pajak karbon merupakan pengenaan pajak terhadap pemakaian bahan bakar minyak bumi, gas alam dan batubara.

Penggunan bahan bakar hidrokarbon ini akan menghasilkan gas rumah kaca yang merangkap panas di bumi dan menyebabkan eksternalitas negatif untuk lingkungan dalam bentuk pemanasan global.

Indonesia menerapkan pajak karbon sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Paris tahun 2016 silam. Dalam perjanjian tersebut Indonesia menandatangani komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 26 persen dengan pendanaan pribadi pada 2030. Sementara, bila mendapatkan dukungan pembiayaan dari luar negeri akan menurunkan hingga 29 persen di tahun yang sama.

Sebelum Indonesia, penerapan pajak karbon telah dilakukan beberapa negara yakni Jepang, Singapura, Finlandia dan Swiss. Masing-masing negara memiliki skema pengenaan pajak karbonnya. Setidaknya ada 30 skema pajak karbon yang telah diterapkan di dunia.

Di Finlandia, pemungutan pajak karbon dengan cara menghitung produksi panas dan listrik serta penggunaan transportasi dan bahan bakar pemanas. Berbeda dengan Swiss yang menerapkan pajak karbon dari semua bahan bakar fosil. Pengecualian dilakukan untuk produksi energi.

Sementara itu di Indonesia, pengenaan pajak karbon akan menggunakan skema cap and trade. Skema ini dikenal juga dengan istilah skema perdagangan emisi atau emission trading scheme (ETS).

Dalam skema ini masing-masing perusahaan mendapatkan kuota pelepasan emisi karbon dengan jumlah tertentu. Perusahaan yang mengeluarkan emisi ambang sampai batas (cap) yang ditetapkan pemerintah tidak akan dikenakan pajak karbon. Sebaliknya bagi perusahaan yang menghasilkan emisi karbon lebih dari ketentuan, maka harus membeli karbon dari perusahaan yang mengeluarkan emisi dibawah ambang batas.

Misalnya, perusahaan A mengeluarkan emisi karbon 130 ribu ton per tahun. Sementara ambang batas yang ditetapkan pemerintah hanya 100 ribu ton per tahun. Maka kelebihan 30 ribu ton perusahaan A harus dibeli dari perusahaan lain yang emisi karbonnya kurang dari 100 ribu ton.

Atas kelebihan karbon tersebut pemerintah akan menarik pajak dari perusahaan yang kelebihan emisi karbon. Dalam UU HPP, pemerintah telah menetapkan harga pajak karbon Rp 30.000 atau USD 2 per tonnya. Sehingga bila perusahaan A kelebihan karbon 30 ribu ton, maka pajak yang dikenakan sebesar Rp 900 juta.

Penerapan pajak karbon di Indonesia akan dilakukan secara bertahap. Di tahun 2021, pemerintah tengah mengembangkan mekanisme pengembangan pajak karbon dengan melakukan uji coba perdagangan di sektor pembangkit listrik. Selanjutnya di tahun 2022-2025 akan diterapkan pada sektor PLTU batubara. Kemudian setelah tahun 2025 akan diimplementasikan secara penuh dengan perluasan sektor pemajakan dan sektor lainnya yang menghasilkan emisi karbon.

Kebijakan pajak karbon dalam waktu dekat akan menyasar PLTU yang menggunakan bahan bakar batubara. Mengutip laman pajak.go.id, saat ini PT Pembangkitan Jawa Bali UP Paiton menjadi PLTU pertama di Indonesia yang melakukan skema ini.

Perusahaan milik PLN itu melakukan offset karbon dengan membeli kredit karbon yang dihasilkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi. Kini cara yang sama telah diikuti beberapa perusahaan pembangkit lain milik PLN. Mereka membeli kredit karbon ke PLTU seperti PLTU Tanjung Jati, PLTU Awar-awar, PLTU Indramayu, PLTU Rembang, dll.

Sebagai informasi, sejak tahun 2010 PLN telah melakukan transaksi penjualan kredit karbon yang dihasilkan oleh beberapa pembangkit seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Gas (PLTMG), Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTM).

PLN menjalin kerja sama dengan beberapa entitas luar negeri yang memfasilitasi para perusahaan di dunia yang ingin melakukan penjualan dan pembelian kredit karbon. Beberapa diantaranya yakni Agrinergy Pte.Ltd (Singapura), Ecosecurities (Swiss), Japan Carbon Fund (Jepang), dan lainnya.

Sumber: merdeka.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only