Mengenal Tax Amnesty Jilid II dan Sederet Manfaatnya

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau yang juga dikenal dengan tax amnesty jilid II telah resmi dimulai pada 1 Januari 2022 dan akan berakhir pada 30 Juni 2022.

Menteri Keuangan Sri Mulyani pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 (PMK 196) tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang merupakan ketentuan pelaksana dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada 23 Desember 2021 lalu.

Hal ini memberikan penjelasan dan tata cara kepada Wajib Pajak (WP) untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan berupa pelaporan harta yang belum dipenuhi secara sukarela.  

Terdapat dua kebijakan dalam PPS, pertama adalah PPS untuk wajib pajak yang telah mengikuti program Tax Amnesty berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 yang belum atau tidak seluruhnya mengungkapkan harta dalam Surat Pernyataan.

Apabila data dan/atau informasi mengenai harta tersebut ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP), maka akan dianggap sebagai penghasilan dan dikenai PPh Final 25 persen (badan), 30 persen (orang pribadi), atau 12,5 persen (WP tertentu) dari harta bersih yang ditemukan dengan tambahan sanksi 200 persen.

“Banyak keuntungan yang bisa diperoleh wajib pajak yang mengikuti PPS,” kata Partner Tax RSM Indonesia Sundfitris LM Sitompul dalam Webinar berjudul Key Points of Tax Voluntary Disclosure Program, dikutip Senin (31/1/2022).

Kedua adalah PPS untuk wajib pajak orang pribadi yang belum melaporkan harta yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2020, yang apabila data dan/atau informasi mengenai harta tersebut ditemukan oleh DJP dapat dianggap penghasilan dan dikenai pajak sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi administrasi.

Wajib pajak yang akan mengikuti PPS diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak penghasilan bersifat final sebesar nilai bersih harta yang diungkapkan dengan tarif pajak sebagai berikut:. 

– Apabila harta bersih berada di Indonesia atau direpatriasi ke Indonesia dan diinvestasikan pada jenis investasi yang disyaratkan, maka tarif pajak kebijakan I sebesar 6 persen dan tarif pajak kebijakan II sebesar12 persen.

– Apabila harta bersih berada di Indonesia atau direpatriasi ke Indonesia namun tidak diinvestasikan pada jenis investasi yang disyaratkan, maka tarif pajak kebijakan I sebesar 8 persen dan tarif pajak kebijakan II sebesar 14 persen.

– Apabila harta bersih berada diluar negeri dan tidak direpatriasikan ke Indonesia, maka tarif pajak kebijakan I sebesar 11 persen dan tarif pajak kebijakan II sebesar 18 persen.

Jenis investasi yang disyaratkan yaitu investasi pada kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan atau dalam Surat Berharga Negara. Investasi tersebut harus dilakukan paling lambat tanggal 30 September 2023 dengan jangka waktu paling singkat 5 tahun sejak diinvestasikan. 

“Untuk Kebijakan I, wajib pajak terhindar dari tambahan pajak dan sanksi 200 persen apabila harta tersebut ditemukan oleh DJP,” tutur Sundfitris.

“Untuk Kebijakan II, wajib pajak tidak akan diterbitkan ketetapan pajak atas kewajiban perpajakan untuk tahun 2016 sampai dengan tahun 2020 kecuali terdapat pajak yang sudah dipotong atau dipungut tapi tidak disetorkan oleh wajib pajak. Selain itu data yang bersumber dari PPS tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak,” jelas dia.

Sumber: liputan6.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only