Alasan Kripto Kena PPN: Bukan Alat Tukar Resmi, Bukan Surat Berharga

Pemerintah menyatakan bahwa aset kripto merupakan sebuah komoditas, sehingga memenuhi kriteria sebagai objek pajak pertambahan nilai atau PPN. Pada Mei 2022 nanti, transaksi kripto resmi mulai dikenakan pajak. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. Poin-poin aturan itu mulai berlaku pada bulan depan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor menilai bahwa aturan itu bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagaimana perlakuan PPN dan PPh atas transaksi kripto.

Perlakuan perpajakan mengacu kepada status aset kripto dalam kerangka hukum Indonesia. Bank Indonesia menyatakan bahwa aset kripto bukanlah alat tukar yang sah, lalu Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) dan Kementerian Perdagangan menegaskan bahwa aset kripto merupakan komoditas.

“Karena komoditas, maka merupakan barang kena pajak tidak berwujud dan harus dikenai PPN juga agar adil,” ujar Neilmaldrin pada Rabu (13/4/2022). Hal tersebut menjadikan aset kripto sebagai jenis objek pajak yang baru, mendasari terbitnya PMK 68/2022. Menurut Neil, pemerintah pun mengupayakan penerapan aturan yang mudah dan sederhana terhadap kripto.

Pengenaan pajak terhadap perdagangan aset kripto adalah dengan melakukan penunjukkan pihak ketiga sebagai pemungut PPN perdagangan aset kripto, yaitu penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE). Pemingut pajak itu bisa perusahaan dalam maupun luar negeri. Pemerintah memungut PPN Final dengan tarif 0,11 persen dari nilai transaksi dalam hal penyelenggara perdagangan adalah Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) dan 0,22 persen jika bukan oleh PFAK. Lalu, jasa mining (verifikasi transaksi aset) dikenakan tarif 1,1 persen dari nilai konversi aset kripto. Pemerintah mengenakan PPh atas perdagangan yang memberikan tambahan kemampuan ekonomis bagi penjualnya, sehingga menjadi objek pajak. Ditjen Pajak menggunakan PPh pasal 22 final dengan tarif 0,1 persen dari nilai aset kripto jika merupakan PFAK); atau 0,2 persen dari nilai aset kripto jika bukan PFAK. “Hal ini berlaku juga atas penghasilan yang diterima oleh penambang aset kripto [miner], merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang dikenai PPh pasal 22 dengan tarif sebesar 0,1 persen dari penghasilan yang diterima atau diperoleh, tidak termasuk PPN,” ujar Neil.

Sumber: ekonomi.bisnis.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only