DJP Ingatkan Lagi Soal Saat Pembuatan Faktur Pajak

Ditjen Pajak (DJP) mengingatkan tidak ada perubahan ketentuan mengenai saat pembuatan faktur pajak. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (15/6/2022).

Kepala Seksi Peraturan PPN Perdagangan II DJP Gideon Agus Yulianto mengatakan sesuai dengan PER-03/PJ/2022, batas upload paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah tanggal pembuatan faktur pajak berbentuk elektronik (e-faktur).

Menurutnya, batas waktu pengunggahan ini sudah memberikan waktu bagi PKP bila menghadapi kendala jaringan atau permasalahan lainnya. Gideon mengatakan seyogyanya faktur pajak dibuat dan di-upload pada saat dilakukannya penyerahan.

Meski faktur pajak boleh diunggah tanggal 15 bulan berikutnya, faktur pajak tetap harus dibuat pada saat terjadinya penyerahan. “Yang kita toleransi adalah batas upload-nya. Kalau untuk kapan pembuatan faktur pajaknya tentu tidak kita toleransi,” ujar Gideon.

Selain mengenai faktur pajak, ada pula bahasan terkait dengan penyampaian laporan progres penyusunan aturan pelaksana UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) kepada Komisi XI DPR. Ada pula bahasan tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2021.

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 ayat (1) PER-03/PJ/2022, pengusaha kena pajak (PKP) wajib membuat faktur pajak tersebut untuk setiap:

  • penyerahan BKP sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan/atau Pasal 16D UU PPN;
  • penyerahan JKP sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN;
  • ekspor BKP berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f UU PPN;
  • ekspor BKP tidak berwujud sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPN; dan/atau
  • ekspor JKP sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-Undang PPN.

Berdasarkan pada ketentuan pada Pasal 3 ayat (2) PER-03/PJ/2022, faktur pajak harus dibuat pada:

  • saat penyerahan barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP);
  • saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau sebelum penyerahan JKP;
  • saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  • saat ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP; atau
  • saat lain yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN.

Saat penyerahan BKP dan/atau JKP serta saat ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP, dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Faktur yang Dibuat PKP Pedagang Eceran

Kepala Seksi Peraturan PPN Perdagangan II DJP Gideon Agus Yulianto mengatakan sesuai dengan ketentuan PER-03/PJ/2022, PKP pedagang eceran memiliki kebebasan untuk menentukan kode dan nomor seri pada faktur pajak.

“Kami kembalikan sesuai dengan kelazimannya. Nomor yang mau diberikan oleh PKP, monggo apa saja sesuai dengan kelazimannya,” katanya.

Penyusunan Aturan Turunan UU HPP

Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan UU HPP memerlukan 43 aturan turunan. DJP, sambungnya, masih bekerja untuk menyelesaikan semua aturan turunan tersebut.

Saat ini, lanjut Suryo, pemerintah telah merilis 15 peraturan menteri keuangan (PMK) sebagai aturan pelaksana UU HPP, yaitu 1 PMK mengenai program pengungkapan sukarela (PPS) dan 14 lainnya terkait dengan pajak pertambahan nilai (PPN).

Sebanyak 4 PP akan segera dirilis dalam waktu dekat, yakni 1 PP mengenai PPh yang sudah selesai dan tinggal penetapan, 2 PP mengenai PPN yang sedang dalam proses, serta 1 PP mengenai KUP yang sudah selesai proses harmonisasi.

“Ada beberapa [aturan] yang lain yang terus kami selesaikan untuk dapat segera diluncurkan atau disosialisasikan kepada masyarakat setelah 4 PP tadi betul-betul sudah diundangkan,” ujar Suryo.

Piutang Pajak

Ketua BPK Isma Yatun mengatakan BPK menemukan adanya piutang pajak macet yang belum dilakukan penagihan secara memadai senilai Rp20,84 triliun. BPK merekomendasikan kepada pemerintah untuk menginventarisasi piutang macet yang belum daluwarsa penagihan per 30 Juni 2022 dan melakukan tindakan penagihan aktif sesuai ketentuan.

Merujuk pada LHP atas LKPP 2021, terdapat 1.713 ketetapan pajak dengan nilai Rp2,18 triliun yang sama sekali belum dilakukan penagihan. Terdapat pula 4.905 ketetapan pajak senilai Rp3,67 triliun yang telah diterbitkan surat teguran, tetapi belum disampaikan surat paksa.

Kemudian, BPK juga mencatat adanya 13.547 ketetapan pajak senilai Rp14,06 triliun yang telah diterbitkan dengan surat paksa, tetapi belum dilakukan penyitaan. Kemudian, BPK juga menemukan adanya 934 ketetapan pajak senilai Rp918,5 miliar yang telah diterbitkan surat perintah melakukan penyitaan tetapi pelunasan piutangnya masih belum optimal.

Penerimaan Pajak

Badan Anggaran (Banggar) DPR dan pemerintah menyepakati target rasio penerimaan perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio sebesar 9,3% hingga 10% pada 2023.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor mengatakan struktur penerimaan pajak pada 2023 tidak akan jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. PPh dan PPN masih akan menjadi penopang utama.

Insentif Pajak

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan insentif pajak diperlukan untuk mengakselerasi pemulihan sektor-sektor ekonomi. Menurutnya, pemberian berbagai insentif tersebut, bahkan melebihi kebutuhan masyarakat sehingga tidak semuanya terserap optimal.

“Sehingga ke depan, kalaupun perekonomian sudah mulai sudah pulih di tahun 2022 dan seterusnya, tentunya insentif ini akan semakin tajam,” ujarnya.

Bea Keluar CPO

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemudian menerbitkan PMK 102/2022 yang mengatur bea keluar atas CPO dan produk turunannya dalam rangka percepatan ekspor. Beleid itu dirilis setelah Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menerbitkan Permendag 38/2020 tentang program percepatan penyaluran CPO dan produk turunannya melalui ekspor.

Pasal 2 PMK 102/2022 memerinci barang yang masuk program program percepatan penyaluran ekspor terdiri atas CPO; refined, bleached, and deodorized palm oil (RBD palm oil); refined, bleached, and deodorized palm olein (RBD palm olein); dan used cooking oil (UCO).

Pada CPO, tarif bea keluar ditetapkan senilai US$488 per ton, sedangkan RBD palm oil senilai US$351 per ton. Kemudian, RBD palm olein dikenakan bea keluar senilai US$392 per ton, serta UCO senilai US$488 per ton.

Perhitungan bea keluar dalam rangka program percepatan penyaluran ekspor ditetapkan secara spesifik yang dihitung berdasarkan rumus tarif bea keluar dikali jumlah satuan barang dikali nilai tukar mata uang. Barang ekspor dalam rangka program percepatan penyaluran ekspor yang telah dikenakan bea keluar tidak dikenakan bea keluar berdasarkan pada PMK 39/2022 beserta perubahannya. (DDTCNews)

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only