Ekonom: Kenaikan Tarif PPN 11% Dorong Penerimaan Pajak, Tapi Menyumbang Inflasi

Kementerian Keuangan mencatat, sampai dengan akhir semester I-20222 penerimaan pajak mencapai Rp 868,3 triliun atau 58,5% dari target Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2022 tentang APBN 2022. Realisasi tersebut tumbuh 55,7% jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama pada tahun lalu.

Penerimaan pajak pada semester I-2022 disumbang oleh pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 562,6 triliun. Selain itu juga disumbang oleh pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) yang tercatat Rp 300,9 triliun. 

Sehingga kenaikan tarif PPN 11% juga mendorong pencapaian penerimaan pajak pada semester I-2022.

Dibalik kontribusi positif PPN terhadap penerimaan pajak, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, kenaikan tarif PPN tersebut juga memberikan dampak terhadap inflasi yang terjadi terutama di periode setelah kenaikan tarif PPN diberlakukan.

“Menurut saya, ini merupakan konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemerintah,” ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Selasa (19/7).

Yusuf menambahkan, meski indikator beberapa kinerja ekonomi menunjukkan masih berada tren yang relatif baik, namun kenaikan inflasi yang disumbang oleh kenaikan tarif PPN pada moralnya akan berpotensi menekan daya beli masyarakat secara umum.

Sehingga menurutnya, kebijakan menaikkan tarif PPN terutama di konteks pemulihan ekonomi seperti saat ini juga harus diimbangi dengan kebijakan di sisi belanja terutama yang berkaitan dengan daya beli masyarakat. 

Artinya, ada redistribusi penerimaan pajak kepada kelompok yang lebih membutuhkan terutama kelompok menengah ke bawah. Sehingga patut diapresiasi bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk menanggung ataupun menyalurkan untuk masyarakat miskin.

“Namun saya kira APBN juga bisa didorong dan perlu didorong untuk menanggung beban kenaikan inflasi terutama pada kelas rentan dan hampir miskin sehingga bantuan untuk kelompok ini pun menurut saya perlu untuk dipertimbangkan bisa diberikan oleh pemerintah dalam jumlah yang proporsional,” tutur Yusuf.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan tarif PPN sebenarnya mempunyai efek mereduksi konsumsi rumah tangga dalam jangka menengah, terutama ketika berhadapan dengan inflasi yang meningkat.

“Problemnya, pada saat implementasi PPN 11%, inflasi mungkin masih rendah, tapi ketika Juni inflasi mulai naik ke 4,35% year on year (yoy) sehingga perlu diwaspadai efek tarif pajak ke konsumsi rumah tangga sepanjang semester II-2022,” kata Bhima.

Bhima menambahkan, di banyak negara saat tekanan inflasi tinggi, stimulus pajak yang bisa dilakukan adalah relaksasi tarif PPN. Artinya tarif PPN yang sebesar 11% sifatnya bisa kondisional, ketika inflasi terlalu cepat naik, tarif bisa dipangkas lagi atau jumlah barang yang dikenakan tarif baru bisa dievaluasi kembali.

“Pemerintah masih mendapat windfall penerimaan dari boom harga komoditas, sebaiknya gunakan itu dulu untuk tambal defisit dibanding kenakan tarif pajak yang lebih tinggi. PPN relatif menyasar ke seluruh kelompok masyarakat, terutama menengah bawah,” tandasnya.

Sumber: kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only