Integrasi NIK dan NPWP Bisa Menjawab Berbagai Tantangan Perpajakan RI

Ketersediaan informasi memiliki peran krusial dalam menjamin kepatuhan pajak pada negara penganut sistem self assessment. Tak hanya itu, informasi yang tersedia secara memadai dapat menjamin kesetaraan dan keadilan dalam pemajakan.

Partner Fiscal Research and Advisory (FRA) Services DDTC Bawono Kristiaji mengatakan langkah pemerintah untuk mengintegrasikan NIK dengan NPWP merupakan salah satu upaya yang ditempuh untuk menghimpun informasi perpajakan.

“Selama bertahun-tahun, pemerintah mengolah informasi agar dapat menguji kepatuhan secara lebih baik. Untuk itu, integrasi ini diperlukan untuk mempermudah profiling serta mempermudah wajib pajak dalam memenuhi hak dan kewajiban pajaknya,” katanya, Selasa (23/8/2022).

Bawono menuturkan setidaknya terdapat 4 cara yang sudah ditempuh pemerintah untuk menghimpun informasi. Pertama, kerja sama dan kewajiban menyetorkan data dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). Kedua, akses informasi keuangan untuk tujuan perpajakan (UU No.9/2017).

Ketiga, pertukaran informasi antar-otoritas pajak berdasarkan permintaan, secara spontan, atau otomatis. Keempat, reformasi administrasi seperti melalui core tax system, pembentukan Direktorat Data dan Informasi Perpajakan, dan lain sebagainya.

Dia juga mengingatkan bahwa penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta menyebabkan setiap orang pribadi membayar pajak. Sebab, seseorang diwajibkan membayar pajak apabila telah memenuhi syarat subjektif dan objektif.

Selain itu, ketersediaan informasi yang memadai juga bisa menjawab tantangan shadow economy. Menurutnya, shadow economy merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya rasio pajak (tax ratio) Indonesia.

Berdasarkan laporan OECD, tax ratio Indonesia terendah di Asia Pasifik dan lebih rendah dari rata-rata negara OECD, Afrika, dan Amerika Latin. Menurut OECD, rendahnya tax ratio tersebut karena besarnya jumlah tenaga kerja informal Indonesia yang mencapai 57,6%.

Integrasi NIK dan NPWP juga ternyata dapat membuat implementasi compliance risk management (CRM) lebih optimal. CRM merupakan proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak. Dengan CRM, otoritas pajak dapat menggolongkan wajib pajak dan memberikan perlakuan sesuai dengan perilaku kepatuhan wajib pajak.

Otoritas akan mempermudah atau memberikan pelayanan secara optimal kepada wajib pajak yang patuh. Sebaliknya, otoritas akan melakukan segala upaya hukum untuk memaksa wajib pajak yang tidak patuh agar menjadi patuh.

“Banyak hal positif yang bisa diambil dari integrasi NIK dan NPWP. Mulai dari memetakan shadow economy, meningkatkan kepatuhan, hingga menjamin keadilan. Jalannya memang masih panjang karena masih ada yang perlu disiapkan, tapi semoga ini bisa berhasil,” tutur Bawono.

Sekadar informasi, Bawono menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Tantangan Pengintegrasian Nomor Induk Kependudukan (NIK) Menjadi Wajib Pajak: Antara Idealitas Vs Realitas yang diadakan Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Bangka Belitung (UBB).

Sementara itu, Dekan FISIP Universitas Bangka Belitung Aimie Sulaiman berharap webinar yang diadakan tersebut dapat memberikan pemahaman kepada civitas akademika UBB tentang integrasi NIK menjadi NPWP.

“Semoga melalui webinar ini civitas akademika UBB dapat menggali banyak pengetahuan atau informasi yang berkaitan dengan kebijakan integrasi NIK dan NPWP,” ujarnya.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only