Wacana Kenaikan Harga Gas Bikin Industri Pengguna Geram

Wacana kenaikan harga gas industri dari posisi saat ini rata-rata US$ 6 per mmbtu membuat industri pengguna gas geram. Sebab, jika itu terjadi, utilisasi dan daya saing industri pengguna gas, seperti petrokimia bakal tergerus.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono mengatakan, wacana kenaikan harga gas membuat pelaku industri gusar. Pasalnya tahun ini adalah tahun investasi dan pemulihan industri. Artinya, jika harga gas naik, akan menciderai Indonesia di mata investor.

“Pemerintah sebaiknya tidak mengubah harga gas industri. Sejatinya kebijakan harga gas yang telah berlaku saat ini telah sukses membantu industri pengolahan dalam masa pandemi Covid-19. Apabila pemerintah menaikkan harga gas, akan memberikan multiplier effect buruk terhadap perekonomian dalam negeri,” ungkap Fajar di Jakarta, Rabu (31/8/2022).

Diketahui, muncul wacana pemerintah sedang mengevaluasi penerapan harga gas untuk tujuh golongan industri sebesar US$ 6 per mmbru. Dari hasil evaluasi, tidak menutup kemungkinan ada kenaikan harga gas.

Sekjen Inaplas mengatakan munculnya wacana pengkajian ulang pada kebijakan harga gas sebesar US$ 6 per mmbtu dari beberapa pihak membuat sejumlah pelaku industri dalam negeri geram. Sebab, kenaikan harga gas akan membuat utilisasi industri pengguna gas yang saat ini sudah menyentuh 75% merosot.

“Tak hanya itu, pengurangan karyawan pun akan terjadi seandainya harga gas kembali naik,” kata Fajar.

Menurut dia, wacana kenaikan harga gas juga dapat merusak upaya pemerintah dalam melakukan penguatan dan peningkatan daya saing industri nasional, serta secara otomatis akan membuka ruang yang lebih besar bagi produk impor masuk ke pasar dalam negeri. Apalagi, Indonesia sedang membahas perjanjian dagang dengan Uni Emirat Arab, yang salah satunya pengkajian penurunan tarif bea masuk petrokimia menjadi 0%.

“Nanti, industri lokal hanya jadi penonton dan berubah menjadi trader. Ini yang harus diantisipasi. Wacana untuk mengkaji kebijakan harga gas industri atau dalam maksud adalah menaikkan kembali harga gas industri, akan berakibat iklim kepastian berusaha dan investasi di Tanah Air rusak di mata pelaku industri lokal maupun global, karena tidak adanya kepastian hukum,” tukas dia.

Fajar meminta pemerintah untuk mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, adalah menjaga daya beli masyarakat di tengah peningkatan harga energi global yang juga memengaruhi harga dalam negeri. Hal ini penting karena daya beli masyarakat pasti turun dengan tingkat inflasi saat ini. Kalau daya beli masih bertahan, permintaan akan produk industri pengolahan tetap terjaga.

Menurut dia, wacana kenaikan harga gas ini tidak sepatutnya muncul. Soalnya, industri dalam negeri hingga kini masih terbelenggu berbagai masalah, seperti  insentif perpajakan, pajak karbon, infrastruktur dan  logistik, cuaca dan FTA yang cenderung merugikan indonesia.

Seiring dengan itu, Fajar meminta pemerintah memperpanjang restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) proyek. Hal ini menimbang antrean engineering contractor yang bisa molor, dari awalnya dua hingga tiga tahun, menjadi empat hingga lima tahun.

Selain itu, dia mengimbau pemerintah menunda pengenaan pajak karbon. Hal ini dengan melihat kondisi global, yaitu ketidakpastian akibat tensi geopolitik Rusia dan Ukraina.”Dahulu ditetapkan belum ada perang. Jadi tolong dikaji ulang sampai harga energi kembali normal. Prinsipnya, kami tetap akan menuju ke industri hijau,” ungkap Fajar

Kedua, kata dia, percepatan pembangunan infrastruktur dan akses logistik. Menurut Fajar, saat ini permintaan sudah meningkat, sehingga pengusaha manufaktur harus memenuhi ketepatan waktu untuk mengirim barang. Mereka masih mengalami kendala terkait logistik, baik itu jalur darat maupun jalur laut.

”Belum lagi ada ketidakpastian mengenai cuaca. Ini akan menambah waktu pengiriman, terutama di jalur laut, sehingga ongkos terkait logistik bisa bertambah. Terakhir, pemerintah perlu mengkaji ulang perjanjian perdagangan dengan negara lain. Pemerintah harus menimbang neraca keseimbangan. Jangan sampai perjanjian perdagangan ini malah berbalik memberi ancaman bagi utilitas industri dalam negeri,” pungkas dia.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only