Meminimalisasi Risiko Hilangnya Potensi Pajak Sharing & Gig Economy

EKONOMI digital di Indonesia berkembang pesat dengan dukungan infrastruktur yang makin memadai dan generasi milenial yang melek teknologi (tech savvy).

Berbagai barang dan jasa yang sebelumnya tidak dibayangkan dapat tersedia secara online, kini hampir semuanya tersedia melalui platform Internet. Kehidupan masyarakat modern menjadi kian praktis, dinamis, dan efisien.

Adanya pandemi Covid-19 yang merebak ke seluruh dunia seakan menjadi akselerator penggunaan Internet dan perkembangan ekonomi digital. Model bisnis yang saat ini berkembang pesat adalah sharing dan gig economy.

Sharing economy membuka kesempatan luas bagi orang-orang untuk memperoleh atau meningkatkan penghasilan. Semua orang yang memiliki sumber daya dapat mendapatkan penghasilan lebih. Seseorang dapat menggunakan kendaraan bermotor miliknya untuk transportasi online.

Ibu rumah tangga dapat menyediakan makanan untuk dijual atau jasa kebersihan. Pemilik rumah dapat menyewakan kamar kosong sebagai penginapan. Pemodal dapat menempatkan uangnya pada peer-to-peer lending. Melalui dukungan platform one-stop service, semua orang bisa menjadi pengusaha.

Di sisi lain, pengguna layanan menjadi lebih mudah dalam mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Dengan sekali klik, semua layanan mulai dari transportasi, kebersihan, kesehatan, hingga pinjaman telah tersedia pada gadget masing-masing.

Perkembangan gig economy memberi kesempatan sama bagi setiap orang yang memiliki kompetensi untuk dapat bekerja dan dipekerjakan sesuai dengan minat, bakat, dan keahlian. Distribusi sumber daya manusia menjadi makin efektif dan efisien.

Pelaku gig economy, seperti programmer, content writer, software developer, konsultan online, crypto miner, dan data analyst dapat menyediakan jasa kepada perusahaan atau individu di dalam atau luar negeri. Mereka mendapat penghasilan berdasarkan pada pekerjaan atau proyek yang diselesaikan sesuai dengan kesepakatan.

Tantangan untuk Perpajakan

PERKEMBANGAN kedua model bisnis tersebut membawa dampak dan tantangan besar bagi dunia perpajakan. Ekonomi digital dapat menjadi ‘surga pajak baru’ dalam tatanan perpajakan global dan domestik. Otoritas perlu memberikan perhatian lebih dalam pengawasan kewajiban perpajakan terkait dengan transaksi ekonomi digital.

Sharing economy membawa perubahan model bisnis yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran atas peraturan perundang-undangan yang berlaku. P2P lending misalnya. Terkait pemotongan bunga, secara konvensional seharusnya dilakukan oleh peminjam selaku pembayar bunga.

Namun, jika peminjam tersebut adalah orang pribadi yang bukan merupakan pemotong PPh Pasal 23 maka tidak dapat memotong pajak tersebut. Hal ini dapat menimbulkan potential loss PPh Pasal 23. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang bersifat lex specialist, misalnya melalui PMK 69/2022 khusus bagi penyelenggaraan teknologi finansial.

Tantangan lain adalah banyaknya pelaku usaha dalam sharing economy yang tidak memiliki tempat usaha, sehinga sulit ditemukan oleh petugas pajak. Pendeteksian nilai penghasilan juga menjadi sulit karena transaksi dilakukan kepada konsumen akhir.

Selain itu, pedeteksian pelaku gig economy juga sulit. Pekerjaan freelance ini umumnya dilakukan secara remote. Berbeda dengan karyawan tetap, baik freelancer maupun pemberi kerja dapat melakukan penjanjian kerja tanpa diketahui otoritas pajak.

Apalagi, banyak transaksi yang dapat dilakukan lintas negara. Hal ini juga juga memunculkan tantangan dalam hal pembayaran yang dilakukan bukan dalam bentuk uang, melainkan aset kripto. Pengawasan terhadap pelaku gig economy menjadi makin sulit dilakukan.

Upaya Mengatasi Tantangan

Untuk mengatasi tantangan tersebut, ada beberapa cara yang bisa dipertimbangkan. Pertama, penunjukan platform sharing economy sebagai wajib pungut.

Seperti yang kita ketahui, platform dapat menyediakan berbagai layanan, mulai dari transportasi, pemesanan makanan, kebersihan, pembelanjaan, pengiriman barang, layanan akomodasi jangka pendek, pinjaman, dan lainnya.

Dengan adanya penunjukan, platform wajib memungut PPN atas jasa/barang kena pajak yang dijual mitra/partner. Selain itu, platform juga dapat ditunjuk untuk memungut PPh Pasal 21, PPh final UMKM, PPh Pasal 22, atau PPh Pasal 23/26 atas jasa yang diberikan oleh mitra.

Penunjukan tersebut tentunya tidak dilakukan terhadap semua platform. Penunjukan hanya terhadap platform yang memiliki traffic atau jumlah transaksi minimal sesuai dengan batas yang ditentukan.

Kedua, kewajiban platform untuk memberikan data. Platform perlu diwajibkan untuk memberikan data profil dan omzet/penghasilan mitra. Data tersebut digunakan oleh DJP dalam pengawasan kepatuhan wajib pajak terkait penghasilan dan penambahan wajib pajak baru.

Ketiga, peningkatan pengawasan terhadap kenaikan harta orang pribadi. Data rekening perbankan yang diperoleh DJP dalam skema automatic exchange of information (AEoI) harus menjadi trigger dalam pengawasan kepatuhan pembayaran wajib pajak.

Profil harta yang tidak sesuai dengan data penghasilan pada SPT Tahunan dapat menjadi red flag adanya ketidakpatuhan pajak. Penyandingan data pihak ketiga dengan SPT mutlak dilakukan untuk meminimalisasi potential loss.

Keempat, peningkatan kegiatan pengumpulan data eksternal. Kegiatan yang perlu ditingkatkan di antaranya aktivitas intelijen atau ekstensifikasi untuk menjaring pelaku sharing dan gig economy. Strategi tersebut diharapkan dapat meminimalisasi potential loss dari sharing dan gig economy.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only