Bunga Fintech Lending 0,4% per Hari untuk Tenor Pendek

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa tingkat bunga pinjaman fintech lending sebesar 0,4% per hari digunakan untuk pinjaman konsumtif dengan tenor pendek. OJK bersama asosiasi terkait sedang melakukan kajian dan pembahasan terkait penetapan manfaat ekonomi dari penyelenggaraan fintech lending, yang salah satunya yakni tingkat bunga.

“Batas tingkat bunga fintech lending selama ini ditetapkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) maksimum 0,4% per hari. Dalam praktik, bunga ini untuk jenis pinjaman multiguna/konsumtif dengan tenor pendek, misal kurang dari 30 hari. Sementara untuk pinjaman produktif, bunga sekitar 12-24% per tahun,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Ogi Prastomiyono dalam keterangan resmi, Selasa (27/9/2022).

Dia mengungkapkan, penetapan bunga maksimum 0,4% per hari oleh AFPI telah melalui berbagai pertimbangan. Hasil riset OJK tahun 2021 menghasilkan bunga ideal maksimum sebesar 0,3-0,46% per hari, sudah termasuk biaya- biaya.

Ogi mengungkapkan bahwa tidak ada pinjaman multiguna/konsumtif dengan tenor panjang, misal sampai satu tahun sehingga secara matematis bunga bisa mencapai 146%. Bunga yang mendekati 0,4% per hari hanya untuk pinjaman multiguna/konsumtif dengan tenor pendek. Sedangkan bunga pinjaman produktif sebesar 12-24% per tahun tergantung tingkat risikonya.

Saat ini, OJK melakukan kajian komprehensif dan pembahasan dengan asosiasi. Utamanya untuk mendukung penetapan manfaat ekonomi, termasuk salah satunya bunga, yang bersifat indikatif. “Diharapkan kajian dan pembahasan dimaksud akan menghasilkan ketentuan yang menyeimbangkan kepentingan lender maupun borrower, sehingga dapat menjaga industri fintech lending yang sehat, kuat, dan berkelanjutan,” kata Ogi.

OJK melalui POJK Nomor 10/2022 tentang Fintech P2P Lending memungkinkan untuk mengatur pengenaan tingkat bunga kepada pemberi pinjaman (lender) dan penerima pinjaman (borrower). Namun, baru-baru ini, OJK mengungkapkan tengah mempertimbangkan penetapan batas tingkat bunga tersebut agar dikembalikan kepada mekanisme pasar.

Beleid mengenai pengaturan tingkat bunga yang dimaksud tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) POJK 10/2020. Diterangkan bahwa batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan oleh fintech lending ditetapkan oleh OJK. Manfaat ekonomi diantaranya yakni tingkat imbal hasil antara lain bunga, bagi hasil, ujrah atau margin.

Pasal 29 ayat (1) mengamanahkan untuk setiap penyelenggara fintech lending wajib memenuhi ketentuan batas maksimum manfaat ekonomi pendanaan dalam memfasilitasi pendanaan. Kemudian di ayat (3) diterangkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai lender dan borrower juga ditetapkan oleh OJK.

Sebelumnya, Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2 OJK Moch Ihsanuddin bilang, OJK tidak serta merta menetapkan tingkat suku bunga, meski aturan yang dibuat dapat mengakomodasi hal tersebut. Regulator tentu akan tetap mendiskusikannya bersama asosiasi.

“Kan di bawah asosiasi ini para pelaku, nanti dilakukan rule making rules process. Nanti didiskusikan bersama suku bunga yang pas itu berapa. Artinya jangan menekan para konsumen, tetapi p2p-nya sustain. Jangan p2p jadi rugi dan mati. Nah, kalau itu bukan regulator tapi eksekutor. Nanti diambil jalan tengah yang terbaik,” ujar Ihsanuddin.

Lebih jauh lagi, AFPI mengungkapkan potensi kenaikan tingkat bunga fintech lending terjadi pada kuartal IV-2022. Namun demikian, penyesuaian hanya diperuntukan bagi segmen tertentu. Namun demikian, penyesuaian hanya diperuntukan bagi segmen tertentu.

Direktur Eksekutif AFPI Kuseryansyah menyampaikan, fintech lending telah menurunkan tingkat bunga maksimum dari 0,8% menjadi 0,4% pada medio Oktober 2021. Tapi melihat situasi yang ada, penyesuaian bunga memang mesti dilakukan. “Mungkin pada kuartal IV-2022 kita baru lihat ada ruang untuk menaikkan secara segmented,” kata Kuseryansyah.

Dia mengungkapkan, besaran bunga fintech lending sangat bergantung pada sejumlah aspek biaya seperti e-KYC, transfer dana, credit scoring, perusahaan asuransi, dan tentu terkait penagihan (collection). Belum lagi, mulai 1 Mei 2022, Kementerian Keuangan memberlakukan ketentuan terkait pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPn) atas penyelenggaraan inovasi digital bidang jasa keuangan atau financial technology (fintech).

Dalam ketentuan tersebut, beban pajak dikenakan kepada pihak penyedia atau penyelenggara yakni fintech lending. Kuseryansyah mengungkapkan bahwa pengenaan pajak tersebut turut memberi imbas pada cost of compliance dari sisi pengguna sebesar 0,5%. Oleh karenanya, pengenaan pajak dapat mempengaruhi iklim persaingan di industri jasa keuangan.

“Semoga tidak berdampak pada competitiveness p2p lending, karena ada beberapa pemain khawatir soal itu. Hal tersebut pasti terjadi, tapi keunggulan lain dari p2p lending harapannya bisa menjadi penyeimbang. Kelebihan kita itu karena proses cepat, kemudian menggunakan data-data alternatif,” ujarnya.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only