Dongkrak Kepatuhan Pajak UMKM, Peningkatan Literasi Jadi Kunci

Sektor UMKM diketahui memberikan kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yakni hingga 61,07%. Walau demikian, catatan World Bank menunjukkan kepatuhan pajak UMKM masih cukup rendah, baru sebesar 15%.

Researcher DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) Lenida Ayumi mengungkapkan pelaku UMKM sesungguhnya memiliki keinginan untuk mematuhi ketentuan perpajakan yang berlaku. Namun, niat tersebut masih terhambat oleh rendahnya pemahaman para pelaku UMKM atas kewajiban dan administrasi pajak.

“Sesungguhnya wajib pajak UMKM memiliki komitmen untuk memiliki kontrak fiskal dengan pemerintah guna berkontribusi lebih terhadap pembangunan,” ujar Ayumi dalam webinar Optimalisasi Kepatuhan Pajak Pelaku UMKM di Sektor Digital: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi yang digelar hari ini, Kamis (10/11/2022).

Berdasarkan survei dan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh DDTC FRA, mayoritas pelaku UMKM menyatakan bersedia mendaftarkan diri menjadi wajib pajak untuk memberikan kontribusi kepada negara.

Meski demikian, tingginya kesadaran tersebut tak berjalan beriringan dengan pengetahuan UMKM terhadap sistem pajak. Faktanya, hanya segelintir UMKM yang mengaku mengetahui dan memahami ketentuan perpajakan dan kewajiban pajaknya. Berdasarkan survei, diketahui hanya 21,48% dari total pelaku UMKM yang mengetahui dan memahami peraturan pajak.

Selain faktor literasi, kepatuhan pajak para pelaku UMKM juga masih terhambat oleh kompleksitas ketentuan pajak, utamanya dalam hal penghitungan pajak. Hasil survei menunjukkan jumlah pelaku UMKM yang menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung pajak masih sangat minim. Diketahui hanya 27,76% responden yang melaksanakan pembukuan untuk menghitung pajaknya.

Faktor-faktor yang membuat UMKM masih belum menyelenggarakan pembukuan antara lain minimnya pengetahuan soal pembukuan, syarat dokumen yang rumit, dan potensi munculnya biaya tambahan bila menyelenggarakan pembukuan.

“Penyuluhan terkait pembukuan akan sangat berguna bagi pelaku UMKM, utamanya ketika pelaku UMKM naik kelas dari pemanfaatan PPh final 0,5% ke rezim pajak umum,” ujar Ayumi.

Tanpa pembukuan, penghasilan neto dari UMKM menjadi sulit diketahui secara pasti oleh otoritas pajak. Dengan demikian, tak mengherankan bila UMKM dikategorikan sebagai sektor yang sulit dipajaki (hard to tax sector).

Predikat hard to tax sector yang melekat pada UMKM pun menjustifikasi keputusan pemerintah untuk menerapkan presumptive tax, yakni mekanisme penghitungan nilai pajak terutang selain berdasarkan penghasilan neto. Hal ini telah diterapkan oleh pemerintah atas UMKM melalui PP 23/2018 yang mengatur tentang PPh final UMKM.

Meski demikian, survei yang dilakukan DDTC FRA menunjukkan baru 39,78% pelaku UMKM yang memanfaatkan skema PPh final UMKM untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Sebagian pelaku UMKM menyatakan tidak menggunakan skema PPh final karena tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut serta tak memahami tata cara memanfaatkannya.

Dalam survei, pelaku UMKM juga menyampaikan kekhawatirannya atas jangka waktu pemanfaatan PPh final. UMKM mengkhawatirkan adanya lonjakan biaya kepatuhan bila masa pemanfaatan PPh final sudah habis dan wajib pajak harus menghitung menggunakan skema umum.

Grace period yang diberikan dirasa masih kurang [bagi UMKM] untuk bersiap-siap bermigrasi ke rezim pajak umum menggunakan pembukuan,” ujar Ayumi.

Kenaikan biaya kepatuhan secara signifikan yang tidak disertai dengan kapasitas ekonomi dan literasi pajak akan mendorong UMKM kembali keluar dari jangkauan sistem pajak dan kembali diklasifikasikan sebagai shadow economy.

Analisis dengan teknik analytical hierarchy process (AHP) yang dilakukan DDTC FRA lantas menunjukkan beberapa faktor yang berperan besar dalam menentukan tingkat kepatuhan wajib pajak UMKM, yakni literasi dan pemahaman pajak, kualitas pelayanan petugas, pemanfaatan teknologi digital, insentif pajak, dan kompleksitas aturan.

Literasi pajak memiliki bobot 13,9% sebagai faktor determinan kepatuhan pajak UMKM. Selanjutnya, kualitas pelayanan dan pemanfaatan teknologi digital memiliki bobot sebesar 13,8% dan 13,4%. Adapun insentif pajak dan kompleksitas aturan memiliki bobot masing-masing sebesar 10,2% dan 9,8%.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan kepatuhan pajak memerlukan solusi berlapis. Literasi perpajakan masih perlu ditingkatkan melalui pengarusutamaan kesadaran pajak, sosialisasi kepatuhan, dan program inklusi pajak.

“Yang diperlukan saat ini adalah eskalasi dari program edukasi dan sosialisasi pajak tersebut agar seluruh UMKM di pelosok daerah dapat memahami dan bisa memanfaatkan,” ujar Ayumi.

Kualitas pelayanan petugas dan pemanfaatan teknologi digital sesungguhnya telah diupayakan oleh DJP melalui Business Development Services (BDS) dan pembaruan fitur M-Pajak untuk mempermudah UMKM memenuhi kewajiban perpajakannya.

Ke depan, DJP masih perlu menggandeng pihak lain seperti penyedia marketplace, asosiasi pengusaha, komunitas UMKM, akademisi, tax center, dan lain-lain. “Kami melihat adanya urgensi untuk mengedepankan kolaborasi multistakeholder,” ujar Ayumi.

Terkait dengan insentif pajak dan kompleksitas aturan, pemerintah sesungguhnya telah memberikan insentif pengurangan tarif PPh badan sebesar 50% berdasarkan Pasal 31E UU PPh. Kompleksitas peraturan bagi UMKM sesungguhnya telah direduksi melalui PP 23/2018.

Namun, faktanya hingga saat ini masih sedikit wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas dan kemudahan tersebut. Hal ini memberikan sinyal bahwa kompleksitas aturan timbul bukan karena tidak adanya simplifikasi, melainkan karena kurangnya literasi dan edukasi pajak.

Sebagai informasi, seluruh analisis dan kajian tentang kepatuhan pajak UMKM tersebut dituangkan dalam Policy Note bertajuk Rekomendasi Kebijakan atas Pelaksanaan Kewajiban Pajak UMKM dalam Ekosistem Digital: Perspektif dan Suara dari Pelaku UMKM.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only