Napas UMKM Menyongsong “Ekonomi Gelap” 2023

Jejak pandemi Covid-19 belum menghilang sempurna. Goncangan ekonomi pada pertengahan 2020 menjadi awal perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pandemi menjadi salah satu bencana non alam yang paling mematikan dalam sejarah dunia. Lumpuhnya layanan kesehatan, tingginya tingkat kematian, pembatasan ruang gerak menjadi peristiwa horor yang “amit-amit” untuk dialami lagi.

Dua tahun terlewati, beberapa negara telah mengumumkan bahwa pandemi telah berakhir. Namun demikian, perekonomian dunia yang belum sepenuhnya pulih, terpuruk akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Harga komoditas global bergolak liar dan cenderung tinggi. Posisi Rusia-Ukraina sebagai suplier komoditas global memperburuk efek panjang perang mantan saudara ini.

IMF dalam World Economic Outlook Oktober 2022 memperkirakan bahwa inflasi global tertinggi di kuartal III tahun 2022 sebesar 9,5%, dan akan melandai sampai tingkat 8,8% pada akhir 2022. Kenaikan harga pangan dan energi masih akan terus terjadi dan meluas hingga 2023. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi global juga diperkirakan melambat sebesar 3,2% (2021: 6,0%), serta turun 2.7% pada 2023. Sedangkan untuk Indonesia, IMF memprediksi bahwa ekonomi akan tetap tumbuh hingga 5.3% pada akhir 2022, dan turun menjadi 5% pada 2023.

Realisasi APBN sampai dengan 30 September 2022 mencatat surplus sebesar 0,33 persen terhadap PDB. Realisasi pendapatan negara mencapai Rp 1.947,74 triliun, meningkat 45,74 persen (y-o-y). Realisasi pendapatan tersebut, salah satunya berasal dari penerimaan perpajakan yang telah mencapai Rp 1.542,64 triliun, atau sebesar 86,47 persen dari target pada Perpres 98/2022, dan tumbuh 49,34 persen (y-o-y).

Dengan terpuruknya perekonomian global, ekonomi Indonesia diprediksi tetap tumbuh optimis, namun tetap waspada. Peningkatan mobilitas warga terlihat dalam sektor pariwisata yang masih terus tumbuh. Mobilisasi meningkatkan pola konsumsi masyarakat, sehingga roda ekonomi tetap berputar dan terjaga stabil.

UMKM sebagai pahlawan ekonomi sejak era krisis 1998 turut memegang peran penting dalam optimisme perekonomian nasional. Semakin masyhurnya digitalisasi transaksi keuangan, membuat UMKM semakin maju dan populer. Munculnya perusahaan rintisan penyedia loka pasar atau marketplace membuat dunia usaha lebih mudah dirintis dan berkembang melalui kanal-kanal pasar digital.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008, UMKM dibagi ke dalam tiga kriteria. Termasuk dalam kategori usaha mikro jika sebuah usaha memiliki omzet paling banyak Rp 300 juta dalam satu tahun. Sedangkan usaha kecil merupakan kelompok usaha yang omzetnya dalam setahun antara Rp 300 juta sampai dengan Rp 2,5 miliar. Kelompok terakhir adalah usaha menengah, merupakan kelompok usaha dengan omzet Rp 2,5 – 50 miliar.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) 2019, jumlah UMKM mencapai 65,4 juta. Peranannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 61,07%. UMKM tersebut didominasi oleh pelaku usaha mikro sebanyak 98.68%. Sampai dengan kuartal ketiga tahun 2022, belum ada rilis jumlah UMKM terkini oleh Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Kemenkop UKM. Diperkirakan presentasi tersebut naik signifikan.

Lahirnya Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021 memberikan angin segar untuk dunia usaha, terutama UMKM. Dengan berlakunya UU HPP, Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp 500 juta dalam setahun tidak kena Pajak Penghasilan (PPh). Ketentuan mengenai PPh pada UU HPP ini berlaku per 1 Januari 2022. Artinya mulai awal 2022, UMKM dengan omzet sampai dengan Rp 500 juta bebas dari beban pikiran menghitung PPh dari omzet mereka.

Ketentuan sebelumnya berlaku bahwa UMKM harus membayarkan PPh Final sebesar 0,5% dari omzet. Sebagai ilustrasi, jika UMKM memiliki omzet 40 juta sebulan, maka PPh Final yang harus dibayarkan sebesar Rp 200.000. Kini biaya tersebut dapat dihilangkan karena jika dihitung dalam setahun, total omzetnya 480 juta, maka tidak kena PPh. UMKM hanya perlu mencatat omzetnya setiap bulan, dan melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) PPh setahun sekali.

Batasan omzet untuk UMKM ini dirasa lebih berkeadilan bagi pelaku usaha mikro. Sebelum berlakunya UU HPP, UMKM dengan omzet berapapun dikenakan PPh Final meskipun usahanya merugi. Walaupun secara ketentuan UMKM juga dapat memilih tarif PPh yang berlaku umum.

Ketentuan PPh yang berlaku umum mewajibkan UMKM membuat pembukuan untuk mengetahui keuntungan bersihnya, atau dapat menggunakan pencatatan jika memilih menghitung penghasilan netto menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Netto. Dengan ketentuan ini, UMKM dapat mengurangkan semua Harga Pokok Pembelian dan biaya-biaya yang berhubungan dengan usahanya. Namun demikian, tidak semua UMKM mampu untuk menyelenggarakan pembukuan atau melakukan perhitungan PPh menggunakan pencatatan norma perhitungan.

Latar belakang penetapan PPh Final untuk UMKM sesuai Peraturan Pemerintah Nomor PP 46 tahun 2013 yang diubah dengan PP 23 tahun 2018 adalah untuk penyederhanaan perhitungan pajak penghasilan bagi Wajib Pajak UMKM. Namun dalam proses penerapannya, terdapat kekurangan karena tidak memperhitungkan batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk UMKM.

UU HPP menjadi jawaban atas keresahan UMKM di Indonesia. Dengan dukungan ketentuan baru ini, diharapkan UMKM dapat terus tumbuh dan berkembang dalam menjaga perekonomian negara tetap stabil dan kokoh.

news.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only