DJBC Sebut Cash Flow Perusahaan Rokok Bisa Longgar dengan Aturan Ini

Relaksasi penundaan pembayaran cukai hingga 90 hari bertujuan untuk melonggarkan cash flow perusahaan rokok. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (28/9/2023).

Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Muhammad Aflah Farobi mengatakan pemberian relaksasi pembayaran cukai menjadi bentuk dukungan pemerintah untuk memberi keringanan pada para pelaku usaha barang kena cukai.

“Ada kebijakan penundaan pelunasan pita cukai 90 hari sehingga kemampuan cash flow meningkat dan diharapkan kemampuan produksi meningkat,” katanya.

Sesuai dengan Peraturan Dirjen Bea Cukai PER-4/BC/2023, penundaan pelunasan selama 90 hari diberikan terhadap pemesanan pita cukai yang diajukan pada 1 Maret-31 Oktober 2023. Namun, penundaan pelunasan maksimal 31 Desember 2023.

Selain mengenai cukai, ada pula ulasan terkait dengan keberadaan skema prepopulated data yang dinilai sebagai salah satu indikator bagus atau tidaknya administrasi pajak. Kemudian, ada pula ulasan tentang rencana pengenaan pajak karbon.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.
Penundaan Pelunasan Cukai

Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC Muhammad Aflah Farobi mengatakan pemerintah terus berupaya memberikan dukungan kepada pengusaha rokok legal. Dalam kondisi ekonomi yang masih diliputi tantangan, pemerintah pun kembali memberikan relaksasi pelunasan pita cukai.

Relaksasi penundaan pita cukai selama 90 hari dapat diberikan setelah kepala kantor bea dan cukai menetapkan keputusan pemberian penundaan. Relaksasi ini diberikan berdasarkan permohonan dan perhitungan pagu penundaan yang diajukan.

Perhitungan pagu penundaan sebesar 4,5 kali dari rata-rata nilai cukai paling tinggi berdasarkan pemesanan pita cukai dalam kurun waktu 6 bulan terakhir atau 3 bulan terakhir. Pengusaha pabrik juga harus melakukan pembaruan jaminan berdasarkan keputusan pemberian penundaan.

Skema Prepopulated Data

Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak (DJP) Imam Arifin mengatakan skema prepopulated bergantung pada kualitas data yang ada. Dalam sistem self-assessment, kualitas data akan dipengaruhi interoperabilitas DJP dengan pihak lain.

Imam mengatakan otoritas selalu mendorong adanya perbaikan interoperabilitas. Implementasi sistem inti administrasi perpajakan (SIAP) atau coretax administration system (CTAS), menurutnya, akan berdampak positif pada peningkatan kualitas interoperabilitas.

“Makin interoperabilitas kita, data makin bagus, [sehingga] prepopulated itu makin bagus,” katanya.

Sentralisasi Pelayanan Pajak

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wira Sakti mengatakan pelayanan pajak akan terus ditingkatkan. Implementasi SIAP atau CTAS akan turut memberi dampak terhadap sentralisasi pelayanan.

“Diharapkan nanti pelayanan-pelayanan yang selama ini sudah digital akan coba pelahan-lahan kita centralized,” ujarnya.

Dengan adanya sentralisasi pelayanan, wajib pajak bisa melakukan pendaftaran, pembayaran, dan pelaporan pajak dari mana saja. Artinya, proses bisnis tersebut bisa dilakukan tanpa terikat tempat wajib pajak terdaftar.

Regulasi Menyangkut Nilai Ekonomi Karbon

Pemerintah masih akan menyelesaikan beragam regulasi guna mendukung penyelenggaraan nilai ekonomi karbon. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan setidaknya terdapat 3 regulasi yang perlu diselesaikan.

Ketiganya adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) tentang Penyelenggara Nationally Determined Contribution (NDC), Permen LHK tentang Perdagangan Karbon Luar Negeri, dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Pajak Karbon.

“Akan kami kawal supaya tidak lari dari hasil rapat terbatas lalu,” ujar Luhut.

Selain menyusun ketiga regulasi di atas, Luhut mengatakan pemerintah juga akan memperbaiki sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim (SRN-PPI). Luhut mengatakan SRN-PPI harus terintegrasi dengan sistem di setiap sektor guna meningkatkan transparansi.

Pajak Karbon Mulai 2026

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pajak karbon baru akan diimplementasikan pada 2026. Menurut Airlangga, pertimbangan waktu pemberlakuan ini mengingat Uni Eropa juga baru akan menerapkan carbon border adjustment mechanism (CBAM) pada 2026.

“Uni Eropa akan menerapkan CBAM pada tahun 2026, 2024 mereka akan sosialisasi. Artinya industri kita harus siap untuk menjadi industri yang basis energinya hijau,” katanya.

Menurut Airlangga, jika tidak ada pengenaan pajak karbon maka komoditas ekspor Indonesia akan dikenai pajak yang sejenis oleh negara lain. “Daripada dikenakan di negara lain kan mending di dalam negeri,” ujarnya.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only