Permintaan Sertel, Ditjen Pajak: Tak Bisa Online, Langsung ke KPP DJP

Permintaan sertifikat elektronik tidak bisa diajukan secara online. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (6/11/2023).

Pekan lalu, sejumlah warganet mengajukan pertanyaan mengenai tidak adanya fitur permintaan atau perpanjangan sertifikat elektronik (sertel) pada laman e-nofa (https://efaktur.pajak.go.id). Merespons pertanyaan tersebut, contact center Ditjen Pajak (DJP), Kring Pajak, memberikan respons.

“Sehubungan ditetapkannya Kepres No. 17/2023 mengenai status pandemi yang telah berakhir, prosedur perpanjangan sertel kembali pada ketentuan PER -04/PJ/2020, tidak dapat dilakukan secara online,” tulis Kring Pajak melalui Twitter.

Dalam unggahan lainnya, otoritas mengatakan permintaan dan perpanjangan sertel melalui telepon, email, dan chat juga hanya berlaku selama kahar (masa pandemi).

Oleh karena itu, pengajuan permohonan permintaan atau perpanjangan sertelkembali hanya dapat dajukan secara langsung ke kantor pelayanan pajak (KPP) terdaftar secara tertulis sesuai PER-04/PJ/2020.

“Prosedur perpanjangan sertel sama dengan permintaan pertama kali sesuai ketentuan pada Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 PER-04/PJ/2020,” imbuh Kring Pajak.

Selain mengenai sertel, ada pula ulasan terkait dengan rencana pemberian insentif PPN rumah ditanggung pemerintah (DTP) mulai masa pajak November 2023. Kemudian, ada pula ulasan terkait dengan peta jalan pajak karbon.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.

Permintaan Sertel

Contact center DJP, Kring Pajak, mengatakan permintaan sertel dilakukan secara langsung ke KPP atau KP2KP terdaftar dengan mengisi formulir permintaan sertal, menyiapkan passphrase, dan melampirkan dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 42 PER-04/PJ/2020.

“Formulir permintaan sertifikat elektronik dapat diunduh pada https://pajak.go.id/id/formulir-pajak/formulir-permintaan-sertifikat-elektronik,” tulis Kring Pajak. (DDTCNews)

Masa Berlaku Sertel

Sesuai dengan ketentuan pada Pasal 44 ayat (1) PER-04/PJ/2020, masa berlaku sertel adalah 2 tahun sejak tanggal sertel itu diberikan oleh DJP. Wajib pajak dapat mengajukan permintaan sertel baru ke DJP dengan sejumlah alasan.

Pertama, akan/telah berakhirnya masa berlaku sertel. Kedua, terjadinya penyalahgunaan sertel. Ketiga, terdapat potensi terjadinya penyalahgunaan sertel. Keempat, tidak diketahuinya –atau lupa—passphrase sertel. Kelima, adanya sebab lain sehingga wajib pajak harus meminta sertel baru.

“Masa berlaku sertifikat elektronik yang telah diterbitkan sertifikat elektronik baru sebagaimana … dinyatakan berakhir saat sertifikat elektronik baru diterbitkan,” bunyi penggalan Pasal 44 ayat (4) PER-04/PJ/2020.

PER-04/PJ/2020 juga memuat ketentuan jika terhadap wajib pajak dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), baik berdasarkan pada permohonan atau secara jabatan. Dalam kondisi ini, masa berlaku sertel berakhir bersamaan dengan dilakukannya penghapusan NPWP. (DDTCNews)

Penggunaan Sertel

Hingga saat ini, kebijakan penggunaan sertel berdasarkan pada PMK 63/2021 masih belum dijalankan. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan otoritas masih melakukan pengembangan sistem dan pengujian internal guna mendukung implementasi PMK 63/2021.

“Terkait dengan pelaksanaan ketentuan pada PMK 63/2021 khususnya mengenai penggunaan sertel, EFIN, dan kode verifikasi, … pengembangan sistem yang DJP lakukan sudah pada tahap pengujian internal. Selanjutnya, untuk penerapan sistem ini masih dalam tahap pengkajian,” ujar Dwi.

1 Rumah 1 NIK/NPWP

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan insentif PPN DTP hanya diberikan kepada 1 orang pribadi atas perolehan 1 unit rumah. “Fasilitas dari PPN DTP ini akan diberikan untuk pembeli 1 rumah per 1 NIK atau 1 NPWP,” katanya.

Orang pribadi yang menerima penyerahan rumah dengan PPN DTP harus memiliki NIK atau NPWP. Nantinya, informasi mengenai NIK atau NPWP tersebut juga bakal tercantum dalam faktur pajak yang dibuat pengusaha kena pajak (PKP).

RPP Peta Jalan Pajak Karbon

Kemenko Kemaritiman dan Investasi mengungkapkan pemerintah seharusnya sudah memiliki peta jalan pajak karbon sejak 2022. Namun, peta jalan tersebut belum ditetapkan oleh pemerintah hingga saat ini. Peta jalan pajak karbon akan ditetapkan dalam bentuk PP.

“Ini juga seharusnya sudah disahkan. Namun, kami mendengar ini masih dalam proses. Jadi, PP tentang Peta Jalan Pajak Karbon sedang ke arah finalisasi,” ujar Asisten Deputi Pengelolaan Perubahan Iklim dan Kebencanaan Kemenko Kemaritiman dan Investasi Kus Prisetiahadi. (DDTCNews)

Ekspor-Impor Barang Kiriman

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berharap implementasi PMK 96/2023 s.t.d.d PMK 111/2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional.

Sri Mulyani mengatakan PMK 96/2023 s.t.d.d PMK 111/2023 dirilis sebagai bagian dari upaya pemerintah meningkatkan daya saing UMKM dan industri dalam negeri. Melalui peningkatan daya saing, produktivitas UMKM dan industri dalam negeri tersebut juga bakal bakal menguat.

“PMK ini diharapkan akan memberikan kepastian hukum dan sekaligus aturan yang jelas terkait ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak atas impor dan ekspor barang-barang kiriman,” katanya. (DDTCNews)

RPP Perlakuan Pajak DHE SDA

Kementerian Keuangan menyebut RPP mengenai perlakuan pajak atas penghasilan dari penempatan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) pada instrumen moneter atau keuangan tertentu akan segera terbit.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut mengatakan pemerintah saat ini masih membahas RPP tersebut. Nantinya, RPP ini akan memuat insentif pajak yang diberikan atas penempatan DHE SDA pada berbagai instrumen sebagaimana diatur dalam PP 36/2023.

“RPP ini sedang kami bahas dengan kementerian terkait dan diharapkan bisa segera terbit,” katanya.

Sumber : DDTC

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only