Individu Kian Mudah Pindah Yurisdiksi, Kebijakan Pajak Perlu Merespons

Perkembangan globalisasi dan digitalisasi ekonomi tidak hanya memberikan tantangan terhadap pemajakan atas perusahaan multinasional, tetapi juga pemajakan terhadap perorangan.

Director of Fiscal Research & Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan saat ini makin banyak individu yang dapat bekerja secara remote. Artinya, seseorang dapat bekerja dan menerima penghasilan tanpa perlu menetap pada suatu yurisdiksi.

“Ini sesungguhnya bukan fenomena baru, tetapi fenomena yang makin diperkuat ketika pandemi Covid-19. Seseorang bisa bekerja secara remote itu lebih intens. Contohnya, kita sekarang ada yang namanya digital nomad,” ujar Bawono dalam kuliah umum perpajakan Perbanas dengan materi Perkembangan Perpajakan Internasional Terkini Paska Pandemi Covid-19, Rabu (8/11/2023).

Dahulu, seseorang memutuskan untuk berpindah dari subjek pajak dalam negeri (SPDN) suatu yurisdiksi menjadi SPDN yurisdiksi lain akibat 2 faktor, yakni tarif pajak dan sistem pajak yang dianut oleh yurisdiksi, worldwide atau teritorial.

Sebagai contoh, bila suatu yurisdiksi menganut sistem worldwide income, SPDN tak hanya wajib membayar pajak atas penghasilan yang bersumber dari dalam negeri, melainkan juga atas penghasilan yang diterima dari luar negeri.

Hal ini menimbulkan beban pajak besar bagi individu berpenghasilan tinggi yang memperoleh penghasilan dari banyak negara akibat dari profesinya. “Ini akan membuat seseorang reluctant. Misalkan di Indonesia, sudah tarifnya tinggi, lalu worldwide. Ini ada pola-pola yang orang menghindari hal-hal tersebut,” ujar Bawono.

Pada sisi lain, yurisdiksi lain berupaya menarik individu tersebut untuk menjadi SPDN di yurisdiksinya dengan menawarkan beragam fasilitas seperti dengan rezim pajak khusus ekspatriat hingga golden visa. “Jadi sekarang kita tidak hanya berebut capital, tetapi juga berebut sumber daya manusia,” ujar Bawono.

Oleh karena fasilitas-fasilitas ini, pola migrasi individu-individu berkeahlian khusus kian intens dan berpotensi menyebabkan tergerusnya basis pajak, brain drain, dan larinya kekayaan dari yurisdiksi asal ke yurisdiksi yang menawarkan beragam kebijakan pajak preferensial.

“Ini isu base erosion juga. Mereka ini sesungguhnya memiliki penghasilan yang lebih baik, jadi ini base erosion juga. Orang-orang kita yang bagus dan memiliki uang itu di-attract untuk pindah ke negara lain,” ujar Bawono.

Akibat dinamika ini, Bawono mengatakan setidaknya terdapat beberapa aspek terkait dengan penentuan status SPDN yang perlu ditimbang ulang, salah satunya adalah time test.

Seperti diketahui, saat ini individu memperoleh status sebagai SPDN Indonesia bila individu tersebut berada di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.

Ketentuan ini mengasumsikan individu akan menetap di suatu negara tempat penghasilan diperoleh. Padahal, klausul ini tidak relevan untuk individu yang memiliki pekerjaan nonstandar. “Sekarang tidak lagi. Beberapa negara sudah merevisi P3B-nya, time test-nya diganti,” ujar Bawono.

Sumber: ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only