Tagihan Pajak Kripto RI Masih Belum Optimal, Gegara Exchanger Asing?

Jakarta. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi untuk menarik pajak dari transaksi kripto di dalam negeri. Namun pada proses penyerapan pajak kripto nasional belum begitu optimal.

Pengenaan pajak terhadap transaksi kripto sendiri dimulai pada Mei 2022. Hingga periode Desember 2022 hanya mencapai Rp 246,45 miliar.

Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Didid Noordiatmoko menjelaskan belum optimalnya penerimaan pajak kripto tidak lepas dari masih lesunya pasar kripto di 2022.

“Transaksi kripto di 2022 itu kan jauh menurun dibandingkan 2021. 2021 itu kan Rp 859,9 triliun, 2022 itu kan sekitar Rp 300an triliun. Artinya kan potensinya memang menurun di 2022,” tuturnya, Kamis (30/3/2023).

“Tapi kan pengenaan pajak baru dikenakan di 2022 di Mei. Nah kalau kita bandingkan nilai transaksi Mei-Desember itu kan juga relevan dengan angka itu. Artinya tidak ada transaksi yang tidak kena pajak,” tambahnya.

Didid sendiri mengaku melihat kondisi pasar kripto di 2023 tidak jauh berbeda dengan 2022. Transaksi masih akan lesu karena memang pasar kripto masih dalam fase ‘winter’.

“Dia belum akan rebound, tapi kemungkinan tidak menjadi turun lagi. Tapi itu masih prediksi. Jadi prediksinya kira-kira 2023 itu kira-kira tidak jauh dengan 2022. Berarti penerimaan pajaknya ya segitu juga. Cuma kan 2022 dari Mei, sementara 2023 dari Januari, jadi agak gede sedikit,” ucapnya.

Pemerintah sendiri mentapkan tarif atas transaksi aset kripto sebesar 0,1% untuk PPh Pasal 22 dan 0,11% untuk PPN final. Tarif itu untuk untuk transaksi di exchanger dalam negeri yang sudah terdaftar di Bappebti.

Sementara untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri tarifnya yakni 0,2% untuk PPh Pasal 22 dan 0,22% untuk PPN final. Namun permasalahannya pengenaan pajak untuk transaksi kripto di exchanger luar negeri masih belum optimal.

“Masalahnya perdagangan di luar negeri bagaimana kita tahu bertransaksi di Indonesia. Karena jelas mereka tidak berizin, dan bukan mereka masuk ke Indonesia. Justru investor kita belinya dari yang ada di luar negeri,” terangnya.

Didid menjelaskan, hingga saat ini transaksi kripto yang dilakukan investor RI di luar negeri masih sulit untuk dideteksi. Sehingga pengenaan tarif pajak sulit untuk dilakukan.

“Ada beberapa orang yang mengatakan ‘ah kecil itu pak’. Kan koin yang dipergdangakan di Indonesia itu 383 jenis koin, padahal di dunia ini ada lebih dari 20 ribu koin. Tapi kan tetap ada orang yang beli yang bertransaksi di luar negeri dari 383 ini, dia langsung bertransaksi di luar negeri sana. Nah ini kami nggak bisa pantau,” tutupnya.

Sumber : detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only