Full Story: Kronologi Soimah Dikejar ‘Debt Collector’ Pajak

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo buka suara terkait dengan pesinden Soimah yang mengaku pernah didatangi oleh ‘debt collector’ pajak pada 2015 silam. Saat itu, menurutnya, ‘debt collector’ pajak mendatangi kediamannya di Bantul, Yogyakarta.

Soimah menceritakan pengalamannya tersebut kepada budayawan Butet Kertaradjasa dan Puthut EA petinggi media Mojok.co, dalam sebuah tayangan siniar bertajuk ‘Blakasuta’.

Pesinden itu menceritakan, bagaimana pihaknya diperlakukan tidak baik oleh ‘debt collector’ pajak untuk menagih pajak penghasilannya.

Soimah sendiri merasa tidak diperlakukan dengan baik oleh petugas pajak. Kisahnya ini menjadi sorotan masyarakat.

Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo memberikan klarifikasi. Dia mengaku bahwa dirinya telah mengumpulkan berbagai fakta dari ingatan, dan catatan, juga administrasi di Kantor Pajak.

Yustinus pun memberikan tanggapan satu persatu soal keluh kesah Soimah.

Pertama, dia menjelaskan soal cerita Soimah yang membeli rumah seharga Rp 430 juta, namun ditolak notaris. Hal ini karena berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar (nilai jual objek pajak/NJOP) oleh petugas pajak, nilai wajar rumah Soimah sebenarnya mencapai Rp 650 juta.

Oleh karena itu, Yustinus menduga penolakan itu bukan dari pegawai pajak, tapi petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemerintah daerah setempat.

“Yang berurusan dengan balik nama dan pajak-pajak terkait BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) yang merupakan domain Pemda. Kantor pelayanan pajak (KPP) biasanya hanya memvalidasi,” papar Yustinus kepada CNBC Indonesia, seperti dikutip Minggu (9/4/2023).

Jika ada kegiatan lapangan, itu adalah kegiatan rutin untuk memastikan nilai yang dipakai telah sesuai dengan ketentuan, yaitu harga pasar yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

Kedua, Yustinus menjelaskan soal petugas pajak yang membawa ‘debt collector’ untuk melakukan pengukuran pendopo yang sedang dibangun Soimah.

Berdasarkan pengakuan Soimah, pengukuran pendopo oleh petugas pajak saat itu memakan waktu cukup lama, yakni pukul 10 pagi hingga pukul 5 sore. Berdasarkan penilaian petugas pajak saat itu, pendoponya ditaksir dengan nilai wajar Rp 50 miliar.

Yustinus mengungkapkan, pengukuran pendopo yang dibangun Soimah itu adalah kegiatan normal yang didasarkan pada surat tugas dan jelas. Membangun rumah tanpa kontraktor dengan luas di atas 200 meter persegi, terutang PPN 2% dari total pengeluaran. Lagipula, nilai wajar yang ditetapkan pada akhirnya bukan Rp 50 miliar.

“Hasilnya, nilai bangunan ditaksir Rp 4,7 M, bukan Rp 50 M seperti diklaim Soimah. Dalam laporannya sendiri Soimah menyatakan pendopo itu nilainya Rp 5 M,” tambahnya.

Dari fakta yang didapatkan Yustinus itu, bahkan rekomendasi pajak tersebut belum dilakukan tindak lanjut oleh petugas pajak. Artinya Soimah memiliki PPN terutang 2% dari Rp 4,7 miliar, yang sama sekali belum dibayar dan ditagihkan oleh KPP.

“Memang belum ada tagihan kok. Jadi beliau juga belum tahu,” ungkapnya.

Menurutnya, pesinden tersebut tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tidak ada utang pajak. Kantor Pajak menurut undang-undang sudah punya debt collector, yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN).

“Mereka bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas; ada utang pajak yang tertunggak. Bagi JSPN, tak sulit menagih tunggakan pajak tanpa harus marah-marah,” tambahnya.

Yustinus juga menegaskan bahwa JPSN bisa menerbitkan Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, memblokir rekening, lalu melelang aset atau memindahkan saldo rekening wajib pajak ke kas negara.

“Soimah sendiri tidak pernah diperiksa kantor pajak dan tercatat tak ada utang pajak, lalu buat apa didatangi sambil membawa debt collector? […] Teman-teman di sana berusaha menjalankan tugas, yang setelah saya telisik, sesuai aturan dan kepatutan,” ujarnya.

“Menurut teman di KPP, sejak 2015 itu mereka bahkan belum pernah berhasil bertatap muka dengan Soimah,” kata Yustinus lagi.

Terakhir, terkait cerita Soimah yang diminta segera lapor SPT Pajak baru-baru ini.

Yustinus menjelaskan bahwa rekaman percakapan Soimah dengan petugas pajak via aplikasi percakapan WhatsApp, petugas pajak justru menawarkan bantuan kepada Soimah yang belum melapor SPT.

“Duh…saya malah kagum dengan kesabaran dan kesantunan pegawai KPP Bantul ini. Ia hanya mengingatkan bahkan menawarkan bantuan jika Soimah kesulitan. Ternyata itu dianggap memperlakukan seperti maling, bajingan, atau koruptor.” jelas Yustinus.

Hingga saat ini pun, kata Yustinus, meskipun Soimah belum melaporkan SPT Pajak Tahunannya.

KPP Bantul, Yogyakarta, juga tak lantas memberikan teguran. “Hingga detik ini pun meski Soimah terlambat menyampaikan SPT, KPP tidak mengirimkan teguran resmi, melainkan persuasi.” tuturnya.

Namun, Yustinus tak menampik bisa saja ada oknum petugas yang bertindak tak pantas, dan tidak ada alasan untuk harus melakukan tindakan tidak menyenangkan seperti yang diterima Soimah. Mengenai kasus Soimah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sampai turun tangan.

Dia menegaskan dirinya mendapat kiriman video cuplikan cerita Soimah dari budayawan Butet Kartaredjasa, dan meminta Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengusut tuntas masalah ini.

“Saya meminta tim @ditjenpajakri melakukan penelitian masalah yang dialami Bu Soimah,” jelas Sri Mulyani dalam akun instagram, Senin (10/4/2023).

“Kami akan terus melakukan perbaikan pelayanan. Terima kasih atas masukan dan kritikan yang konstruktif,” ujar Sri Mulyani lagi.

Sumber: cnbcindonesia.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only