Alasan Lengkap MK Geser Pengadilan Pajak dari Kemenkeu ke MA

Jakarta –

Pembinaan dan organisasi Pengadilan Pajak digeser dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke Mahkamah Agung (MA). Perintah itu diketok oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Apa alasan MK?

“Menyatakan sepanjang frasa “Departemen Keuangan” dalam Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026”, sehingga Pasal 5 ayat (2) UU 14/200273 selengkapnya berbunyi, “Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan bagi Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung yang secara bertahap dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026″,” demikian bunyi putusan MK yang dikutip detikcom, Jumat (26/5/2023).

Putusan itu diketok dengan bulat oleh 9 hakim MK. Apa alasan mereka? Berikut alasan 9 hakim MK itu:

Salah satu unsur fundamental dari negara hukum yaitu adanya lembaga peradilan yang independen. Terkait hal ini dalam konstitusi juga telah ditentukan secara tegas, bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Secara doktriner, sebagai negara hukum, salah satu faktor atau ciri terpenting terletak pada kemandirian lembaga peradilan, di mana dimungkinkan selalu timbul adanya sengketa antara yang diperintah dengan yang memerintah.

Dalam hal ini, sengketa antara penyelenggara negara yang berhadapan dengan rakyatnya, sebagaimana halnya yang berkenaan dengan tugas dan kewenangan pengadilan pajak. Salah satu prinsip dari negara hukum adalah hadirnya kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, independen dari pengaruh segala unsur kekuasaan apapun.

Tanpa adanya independensi maupun kemandirian terhadap badan kekuasaan kehakiman dapat memberikan pengaruh dan dapat berdampak tercederainya rasa keadilan termasuk peluang munculnya penyalahgunaan atau penyimpangan kekuasaan maupun juga diabaikannya hak asasi manusia oleh penguasa negara. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan juga lembaga peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Berkenaan hal tersebut.

Hakim dalam hal ini sebagai badan fungsional pelaksana kekuasaan kehakiman, mempunyai kedudukan yang sentral, sebab pada dasarnya kekuasaan kehakiman mempunyai pilar-pilar yang terdiri dari badan-badan peradilan yang dibentuk dan disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan dan juga termasuk tugas dan kewenangannya masing-masing yang mempunyai sifat dan perlakuan yang sama.

Lebih lanjut dijelaskan, di antara semua lembaga peradilan, Pengadilan Pajak merupakan satu-satunya pengadilan yang keberadaannya diharapkan dapat memberikan keadilan dalam bidang pemungutan pajak sebagai upaya meningkatkan kepatuhan pajak dan penerimaan negara di bidang pajak. Oleh karena itu, demi tercapainya harapan tersebut, Pengadilan Pajak perlu memiliki hakim-hakim yang memenuhi persyaratan yang ketat, baik secara integritas maupun kompetensi.

Selain hakim, semua pihak yang terintegrasi berada di dalam lembaga peradilan tersebut juga diharapkan menjadi pihak yang mempunyai kompetensi yang cukup dan jujur dalam melaksakanan tugasnya, yang secara integral berada dalam naungan sebuah badan pembinaan yang utuh dan tidak terpisahkan. Namun, persyaratan terwujudnya independensi badan peradilan yang seharusnya secara sistem selalu terintegrasi dimaksud, secara faktual baru terbatas pada cita-cita dan semangat saja, karena secara faktual Pengadilan Pajak selama ini masih diselenggarakan oleh dua institusi yang berbeda, yaitu di satu sisi tunduk pada pembinaan teknis yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, akan tetapi pada kewajiban lainnya, yaitu berkenaan dengan organisasi, administrasi, dan keuangan pembinaannya tunduk pada Kementerian Keuangan.

Makna pembinaan secara universal adalah melakukan bimbingan baik secara teknis yudisial maupun non yudisial, di mana kedua hal tersebut berpotensi tumpang tindih (overlapping) karena tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan merupakan satu kesatuan pilar akan kemandirian lembaga peradilan.

Lebih jauh, dengan tetap mempertahankan pembinaan badan peradilan pada lembaga yang tidak terintegrasi, maka hal tersebut dapat memengaruhi kemandirian badan peradilan atau setidak-tidaknya berpotensi lembaga lain turut mengontrol pelaksanaan tugas dan kewenangan badan peradilan in casu Pengadilan Pajak, meskipun hanya berkaitan dengan organisasi, administrasi dan keuangan. Namun hal tersebut, menunjukkan Pengadilan Pajak tidak dapat secara optimal melaksanakan tugas dan kewenangannya secara independen.

Terlebih, dalam perspektif negara hukum berkaitan dengan sistem peradilan dan proses-proses penegakan hukum untuk memberikan keadilan dan juga kepastian hukum bagi pencari keadilan, merupakan unsur yang fundamental dalam penguatan kedudukan lembaga peradilan yang merupakan satu kesatuan implementasi adanya konsep negara hukum yang mencita-citakan adanya supremasi hukum maupun penegakkan hukum yang adil.

Dengan demikian, tanpa adanya independensi dalam lembaga peradilan dan juga setidak-tidaknya badan peradilan yang masih berpotensi dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah atau eksekutif, hal ini dapat memperlebar peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau adanya kesewenang-wenangan dalam pemerintahan termasuk diabaikannya hak asasi manusia/hak konstitusional warga negara oleh penguasa, akibat terabaikannya independensi badan peradilan.

Secara konstitusional, perihal independensi peradilan, telah diatur secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga, tujuan yang ingin dicita-citakan dari adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka atau dalam hal ini disebut sebagai independensi peradilan adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat.

Independensi peradilan merupakan unsur yang tidak dapat terpisahkan dan telah menjadi sifat kekuasaan peradilan. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan juga badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkup lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha negara, dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan, in casu Pengadilan Pajak, sebenarnya dibentuk sebagai kelanjutan dari keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak berdasarkan UU 14/2002, di mana undang-undang ini memiliki beberapa kekhususan apabila Pengadilan Pajak dibandingkan dengan pengadilan lainnya dalam sistem peradilan di Indonesia.

Kekhususan tersebut, pertama, tentang pembinaan Pengadilan Pajak terbagi oleh Mahkamah Agung dan oleh Departemen Keuangan. Kedua, tentang upaya hukum pada Pengadilan Pajak yang tidak mengenal upaya hukum pada Pengadilan Tingkat Banding dan Kasasi pada Mahkamah Agung. Ketiga, adalah tentang alasan-alasan permohonan Peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak yang mengandung beberapa perbedaan dengan alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali pada umumnya.

Keempat, adalah tentang Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa menambah pajak yang harus dibayar dan dapat dikategorikan sebagai putusan bersifat ultra petita, karena melebihi dari nilai yang diajukan gugatan/keberatan. Kelima, adalah tentang tempat kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya terdapat di Ibukota Negara, meskipun terdapat mekanisme sidang di luar tempat kedudukan.

Bahwa berkenaan dengan sistem peradilan, setelah diundangkannya UU 14/2002, terdapat perubahan dalam sistem peradilan di Indonesia berdasarkan perubahan UUD 1945 dan perubahan UU 48/2009, di antaranya adalah tentang ketentuan mengenai pengadilan khusus dan hubungannya dengan lingkungan-lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

Sebab, sejak tahun 2004, hanya ada 4 (empat) lingkungan peradilan yang diakui di Indonesia yaitu lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan demikian, mengenai pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam dan melekat pada salah satu dari lingkungan peradilan tersebut. Sehingga, sejak saat itu Pengadilan Pajak dikategorikan sebagai Pengadilan Khusus yang termasuk dalam lingkungan peradilan Tata Usaha Negara di bawah Mahkamah Agung.

Dengan demikian perlu dilakukan “one roof system”, terlebih lagi telah ada pengakuan bahwa Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga sudah seharusnya ada perlakuan yang sama untuk satu atap terhadap Pengadilan Pajak di mana pembinaan secara teknis yudisial maupun pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan berada sepenuhnya di bawah
kekuasaan Mahkamah Agung, tanpa adanya campur tangan lembaga lain.

Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut dan merujuk fakta belum ditindaklanjutinya putusan Mahkamah Konstitusi hingga saat ini, Mahkamah berkesimpulan cukup beralasan secara hukum dalam putusan perkara a quo untuk menentukan tenggang waktu yang pasti kepada pembentuk undang-undang tidak hanya sekadar pesan-pesan sebagaimana dalam putusan Mahkamah sebelumnya.

Perlu dilakukan “one roof system”…Pengadilan Pajak adalah bagian dari Pengadilan Tata Usaha Negara, di bawah kekuasaan Mahkamah AgungPutusan MK

Dalam kaitan ini, penting bagi Mahkamah untuk menetapkan dengan memerintahkan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 dinilai sebagai tenggang waktu yang adil dan rasional untuk menyatukan kewenangan pembinaan Pengadilan Pajak dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.

Oleh karena itu, sejak putusan atas perkara a quo diucapkan, secara bertahap para pihak pemangku kepentingan (stakeholders) segera mempersiapkan regulasi berkaitan dengan segala kebutuhan hukum, termasuk hukum acara dalam rangka peningkatan profesionalitas sumber daya manusia Pengadilan Pajak, serta mempersiapkan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengintegrasian kewenangan di
bawah Mahkamah Agung dimaksud. Dengan demikian, selambat-lambatnya tanggal 31 Desember 2026 seluruh pembinaan Pengadilan Pajak sudah berada di bawah Mahkamah Agung.

Sumber : detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only