Gross Split Migas Diubah, Bagi Hasil Sebelum Pajak Lebih Kompetitif

Pemerintah menyusun revisi skema kontrak bagi hasil gross split yang selama ini tertuang dalam Permen ESDM 8/2017. Dalam pembaruan kali ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeklaim bisa mendorong bisnis hulu migas menjadi lebih sederhana, cepat, dan kompetitif. Skema baru gross split ini berjuluk New Simplified Gross Split.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Noor Arifin Muhammad menyampaikan revisi Permen ESDM 8/2017 dilakukan untuk mendorong usaha eksplorasi dan eksploitasi bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Tujuan lainnya, menjadikan industri hulu migas domestik lebih siap untuk menghadapi dinamika harga minyak dunia.

“Juga mendorong KKKS agar mengelola biaya operasi dan investasinya dengan berpijak pada sistem keuangan korporasi, bukan sistem keuangan negara,” kata Arifin dalam keterangan tertulis, dikutip pada Jumat (26/5/2023).

Selain gross split, Indonesia sebenarnya masih memiliki jenis kontrak lainnya, yakni kontrak bagi hasil cost recovery yang sudah berlaku selama puluhan tahun. Dengan 2 jenis skema kontrak bagi hasil tersebut, KKKS punya pilihan dalam menentukan jenis kontrak.

Hingga kini, pemerintah tetap menawarkan 2 opsi kontrak tersebut dalam setiap penawaran wilayah kerja (WK), baik untuk WK yang ditawarkan melalui penawaran langsung atau lelang reguler.

Ada 4 urgensi yang menjadikan revisi Permen ESDM 8/2017 tentang kontrak gross split perlu dilakukan. Pertama, memberikan kepastian nilai bagi hasil yang lebih kompetitif bagi KKKS.

“Penyusunan ulang sistem bagi hasil yang lebih kompetitif dengan negara lain, dengan target total bagi hasil sebelum pajak KKKS pada rentang 80% hingga 90%, ditentukan berdasarkan profil resiko lapangan,” ujar Arifin.

Kedua, meminimalisir ketergantungan keekonomian KKKS terhadap tambahan split diskresi menteri. Ketiga, simplifikasi dan penyempurnaan komponen dan parameter bagi hasil.

“Penyederhanaan jumlah komponen bagi hasil berdasarkan parameter teknis yang tidak menimbulkan perdebatan dalam penentuan dan efektif penerapannya. Pemilihan didasarkan pada parameter primer yang memberikan koreksi split utama pada kontrak Gross Split eksisting,” tambah Arifin.

Keempat, perancangan kebijakan fiskal yang cocok untuk Migas Non Konvensional (MNK). “Pemberian skema baru kontrak GS bagi hasil tetap (fixed split) terhadap profil risiko, kebutuhan teknologi baru, dan penekanan biaya pengusahaan migas nonkonvensional,” paparnya.

Sementara itu, Koordinator Pokja Pengembangan WK Migas Non Konvensional Dwi Adi Nugroho menambahkan terdapat 11 poin utama perubahan Permen ESDM 8/2017.

Pertama, penyederhanaan jumlah komponen variabel dari 10 komponen menjadi hanya 3 komponen. Kedua, penyederhanaan jumlah komponen progresif dari 3 komponen menjadi hanya 2 komponen.

Ketiga, penyeimbangan nilai bagi hasil dasar (base split). Keempat, penyeimbangan nilai total bagi hasil secara keseluruhan. Kelima, perubahan formula komponen progresif harga minyak dan gas bumi.

Keenam, pemberian batas nilai sliding scale pada parameter komponen progresif harga minyak dan gas bumi. Ketujuh, pemisahan unsur kewajiban TKDN KKKS dari komponen bagi hasil.

Kedelapan, pemisahan terms & conditions antara sumber daya migas konvensional dan nonkonvensional. Kesembilan, penambahan komponen variabel tetap khusus untuk sumber daya migas nonkonvensional.

Kesepuluh, penyempurnaan penentuan nilai parameter berdasarkan metode statistik dari data realisasi 5 tahunan terakhir. Kesebelas, pemindahan komponen variabel dan progresif dari lampiran Permen ke Keputusan Menteri untuk kepentingan kemudahan penyesuaian parameter terhadap data realisasi di masa depan.

Sumber : DDTC

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only