DJP Imbau Semua Wajib Pajak UMKM Lapor SPT Tahunan PPh

Wajib pajak UMKM yang memiliki omzet kurang dari Rp500 juta tetap wajib menyampaikan SPT Tahunan. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Kamis (11/1/2024).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Dwi Astuti mengatakan kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan berlaku untuk seluruh wajib pajak UMKM. Dia mengimbau agar wajib pajak UMKM dapat melaksanakan kewajiban tersebut.

“Kami mengingatkan kewajiban pelaporan SPT Tahunan untuk seluruh wajib pajak UMKM, termasuk UMKM yang omzet setahunnya kurang dari Rp500 juta, untuk tetap menyampaikan SPT Tahunan yang mungkin selama ini kewajiban tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan dengan baik,” ujar Dwi.

Seperti diketahui, atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam 1 tahun pajak dari wajib pajak orang pribadi UMKM – yang menggunakan rezim PPh final PP 55/2022 –tidak dikenai pajak.

Meskipun harus menyampaikan SPT Tahunan, wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet belum melebihi Rp500 juta tidak wajib menyampaikan SPT Masa PPh Unifikasi. Hal ini diatur dalam PMK 164/2023.

Selain mengenai kewajiban pelaporan SPT Tahunan wajib pajak UMKM, ada pula ulasan terkait dengan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara. Kemudian, masih ada pula bahasan mengenai PPh Pasal 21.

Berikut ulasan berita perpajakan selengkapnya.

Pelunasan PPh Final Setiap Masa Pajak

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan PMK 164/2023 mempertegas keharusan wajib pajak beromzet sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun untuk melunasi PPh final 0,5% setiap masa pajak. Pelunasan dapat disetor sendiri atau lewat pemotongan/pemungutan pihak lain.

Jika bertransaksi dengan pemotong/pemungut PPh, wajib pajak harus menunjukkan surat keterangan agar dipotong PPh final 0,5%. Surat keterangan yang telah diterbitkan sebelum PMK 164/2023 diundangkan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya jangka waktu dalam surat keterangan.

Wajib pajak orang pribadi UMKM dengan omzet kurang dari Rp500 juta setahun harus menyerahkan surat pernyataan agar tidak dilakukan pemotongan pajak.

Laporan Peredaran Bruto Usaha WP UMKM

Sesuai dengan ketentuan dalam PMK 164/2023, wajib pajak UMKM yang menggunakan rezim PPh final 0,5% harus menyampaikan laporan mengenai peredaran bruto dari usahanya dan PPh final yang terutang sebagai lampiran SPT Tahunan.

“Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu … wajib menyampaikan laporan mengenai peredaran bruto atas penghasilan dari usaha dan PPh yang bersifat final sebagai lampiran SPT Tahunan PPh,” bunyi Pasal 9 ayat (1) PMK 164/2023.

Bila tidak menyampaikan laporan peredaran bruto atas penghasilan dari usaha dan PPh final sebagai lampiran SPT Tahunan, wajib pajak UMKM akan dikenai sanksi administratif.

Dalam Lampiran PMK 164/2023, ada 2 format laporan yang disediakan, yaitu laporan bagi wajib pajak orang pribadi UMKM dan laporan bagi wajib pajak badan UMKM. Laporan untuk wajib pajak orang pribadi UMKM turut mempertimbangkan omzet tidak kena pajak senilai Rp500 juta. (DDTCNews)

Tidak Ada Dikotomi Pajak Ditanggung dan Ditunjang

DJP kembali menegaskan tidak adanya lagi dikotomi pajak ditanggung dan pajak ditunjang pemberi kerja seiring dengan berlakunya ketentuan penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak.

Penyuluh Ahli Madya DJP Dian Anggraeni mengatakan pajak ditanggung pemberi kerja merupakan kenikmatan. Untuk itu, pajak ditanggung ataupun ditunjang pemberi kerja masuk ke dalam komponen penghasilan bruto dan harus dipotong PPh Pasal 21 berdasarkan pada PMK 168/2023.

“Dulu kenikmatan bukan objek. Ketika menjadi objek, dia menjadi penambah jumlah bruto. Sifatnya menjadi objek PPh Pasal 21. Jadi, tidak ada bedanya. Mau dia ditunjang, mau dia ditanggung, itu objek PPh Pasal 21,” katanya. (DDTCNews)

PPh Pasal 21 Penghasilan Selebgram

Pembuat konten (content creator) di media sosial seperti influencer, selebgram, blogger, vlogger, dan sejenisnya dikategorikan sebagai bukan pegawai berdasarkan PMK 168/2023.

Penghasilan content creator sehubungan dengan pekerjaan atau jasa bakal dipotong PPh Pasal 21 dengan menggunakan penghitungan layaknya bukan pegawai lainnya seperti tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, seniman, bintang film, olahragawan, dan lain-lain.

“Bukan pegawai adalah orang pribadi selain pegawai tetap dan pegawai tidak tetap yang memperoleh penghasilan…sebagai imbalan atas pekerjaan bebas atau jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi penghasilan,” bunyi Pasal 1 angka 12 PMK 168/2023.

Besarnya PPh Pasal 21 dihitung dengan tarif PPh Pasal 17 ayat (1) dikalikan 50% dari penghasilan bruto yang diterima oleh bukan pegawai. Penghasilan bruto dimaksud adalah imbalan sehubungan dengan pekerjaan bebas atau jasa dalam bentuk honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis. (DDTCNews)

Penyusunan 2 PP Soal PNBP

Pemerintah menyusun 2 PP tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal itu masuk Keppres 3/2024. Kedua PP yang dimaksud adalah RPP tentang Tata Cara Pengelolaan, Penetapan Tarif dan Penanganan Keberatan, Keringanan, dan Pengembalian PNBP serta RPP Jenis dan Tarif PNBP.

“Program penyusunan peraturan pemerintah … ditetapkan untuk jangka waktu 1 tahun,” bunyi diktum kedua Keppres 3/2024. (DDTCNews)

PMK Baru Soal AEO

Pemerintah menerbitkan PMK 137/2023 yang mencabut PMK 227/2014 terkait dengan operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator/AEO). Terbitnya PMK baru tersebut didasarkan pada hasil evaluasi otoritas dan masukan dari pelaku usaha.

“[Perubahan peraturan] berdasarkan pemantauan kami di lapangan, masukan dari beberapa pelaku usaha, dan ada pandangan dari perusahaan, bahwa untuk menjadi AEO itu sulit karena kriteria yang harus dipenuhi sangat banyak,” kata Direktur Teknis Kepabeanan DJBC Fadjar Donny Tjahjadi.

Fadjar menuturkan AEO merupakan operator ekonomi yang telah mendapat pengakuan oleh DJBC sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan bersifat umum dan khusus. Melalui PMK 137/2023, pemerintah ingin memberikan kemudahan bagi operator ekonomi menjadi AEO. (DDTCNews)

Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai

Pemerintah telah menerbitkan PMK 165/2023. PMK ini memuat tata cara permohonan, permintaan, dan pembayaran sanksi administratif berupa denda dalam rangka penghentian penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.

PMK 165/2023 diterbitkan sebagai peraturan pelaksana PP 54/2023 terkait dengan pelaksanaan prinsip ultimum remedium di bidang cukai pada tahap penyidikan. Beleid itu memuat aturan proses penyidikan dapat dihentikan setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda.

Penghentian penyidikan di bidang cukai hanya dilakukan atas tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 UU Cukai s.t.d.t.d. UU HPP. Penghentian dilakukan setelah pembayaran sanksi administratif berupa denda sebesar 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.

Sumber : DDTC

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only