Tarif Efektif Rata-Rata PPh 21 yang “Agak Laen”

Beberapa waktu yang lalu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merilis konsep yang “agak laen” dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) untuk orang pribadi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk bekerja di Indonesia mencapai 139,85 juta orang pada Agustus 2023. Artinya banyak yang akan dipengaruhi oleh konsep penghitungan pajak penghasilan bagi orang pribadi. Mulai dari pekerja kantoran, jurnalis, pengacara, ASN, buruh harian hingga perorangan yang memberikan jasa. Bahkan presiden pun akan menggunakan konsep ini dalam penghitungan pajaknya.

Dalam hal ini ketentuan terbaru adalah Tarif Efektif Rata-rata (TER) PPh 21. TER ini memiliki cara penghitungan yang berbeda dengan aturan sebelumnya. Layaknya angsuran yang harus dicicil tiap bulan dan kemudian akan dihitung ulang nantinya pada akhir tahun, demikianlah konsep dalam penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk pegawai tetap. Yang jadi tantangan adalah pada akhir tahun nanti, kita tidak bisa memprediksi jumlah pajak tahunannya karena berbagai alasan mulai dari perubahan komposisi penghasilan hingga jika pegawai resign di tengah tahun. Konsekuensinya bisa saja angsuran bulanan yang dibayar itu menjadi lebih kecil atau malah lebih besar.

Kenapa harus berubah?

Di aturan yang lama ada sekitar 400 skema penghitungan untuk menghitung pajak penghasilan pribadi bulanan. Misalnya untuk pegawai tetap ada skema penghasilan teratur dan tidak teratur seperti bonus dan uang rapelan. Untuk pegawai tidak tetap ada skema pembayaran harian dan mingguan, ada juga batasan tidak kena pajak harian. Cara penghitungan dalam pemotongan PPh Pasal 21 bulanan dalam ketentuan sebelumnya memiliki kompleksitas yang tinggi dan skema penghitungan yang sangat bervariasi dibandingkan dengan sistem withholding tax lainnya, sehingga tentunya menyulitkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajibannya.

Skema penghitungan PPh 21 bulanan sebelumnya dirasa memberatkan bagi WP yang berusaha untuk melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar. Oleh karena itu DJP menawarkan simplifikasi. Dengan simplifikasi ini diharapkan cost of compliance turun sehingga kepatuhan meningkat. Sedangkan untuk DJP sendiri dapat mempermudah pengawasan atas penghitungan Wajib Pajak.

Beberapa pemerintahan yang lebih dahulu mengadopsi Tarif Efektif di antaranya adalah Amerika Serikat, Australia, Malaysia, dan Afrika Selatan. Malaysia bahkan memiliki tabel TER dengan jumlah 733 halaman, tentunya semakin banyak tabel maka akan semakin presisi untuk penghitungannya. Sementara di Indonesia memiliki tiga tabel yang dibedakan menjadi TER A, TER B, dan TER C disesuaikan dengan jumlah tanggungan atau kita mengenalnya dengan istilah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Perbedaan konsep dulu dan sekarang

Untuk memahami perbedaan konsep lama (PER-16/2016) dan konsep TER (PP-58/2023 jo. PMK-168/2023) mari kita asah otak sejenak. Misalnya Tuan O dengan status bujangan adalah pegawai tetap pada suatu kantor konsultan. Pada Januari 2024 menerima gaji bulanan sebesar Rp 10.000.000, selain itu Tuan O juga memperoleh tunjangan jabatan sebesar Rp 5.000.000 dan menerima uang lembur sebesar Rp 1.000.000.

Pada aturan yang lama, untuk menghitung pajak terutang dilakukan dengan cara mencari dahulu penghasilan brutonya dalam hal ini Rp 10.000.000 ditambah Rp 5.000.000 dan Rp 1.000.000 sehingga diperoleh nilai Rp 16.000.000. Kemudian penghasilan bruto tadi dikurangi dengan biaya jabatan yaitu 5% dari penghasilan bruto dengan nilai maksimal Rp 500.000 per bulan. Hasilnya adalah Rp 16.000.000 dikurangi Rp 500.000 yakni Rp 15.500.000.

Kemudian nilai Rp 15.500.000 tadi disetahunkan dahulu yakni dikalikan dengan 12, hasilnya adalah Rp 186.000.000. Lalu angka ini dikurangkan dengan status PTKP-nya yakni status bujangan tadi, Rp 54.000.000, hingga diperoleh angka Rp 132.000.000. Barulah angka penghasilan kena pajak ini dikalikan tarif progresif pasal 17 UU PPh sehingga diperoleh pajak tahunan sebesar Rp 13.800.000. Belum selesai sampai di situ, angka ini dibagi 12 kembali untuk mendapatkan nilai pajak bulanannya yaitu Rp 1.150.000. Jika komposisi penghasilan tidak berubah maka angsuran Januari hingga Desember adalah Rp 1.150.000 tadi.

Bagaimana dengan TER? Untuk mengetahui nilai pajak bulanannya, cukup kalikan saja penghasilan bruto dengan TER sesuai tabel yang disediakan. Karena range PTKP Tuan O adalah bujangan (TK/0), maka tarif yang digunakan adalah tabel TER A. Pada contoh di atas, Rp 16.000.000 x 7% = Rp 1.120.000. Itulah pajak bulanannya. Sederhana, bukan?

Penghitungan untuk bulan terakhir atau Desember

Kembali ke ilustrasi di atas, asumsi komposisi penghasilan tidak berubah selama setahun, maka nilai pajak tahunan baik dengan konsep lama atau TER sama saja Rp 13.800.000. Sesuai dengan penerapan TER tadi, Tuan O akan mengangsur Rp 1.120.000 selama 11 bulan dari Januari November dengan total Rp 12.320.000. Nantinya pada Desember, setelah hitung ulang, pajak terutang Desember adalah Rp 13.800.000 dikurangi Rp 12.320.000 yaitu Rp 1.480.000.

Ada Wajib Pajak yang senang karena angsurannya menjadi lebih kecil pada awal tahun. Namun ada juga yang menggerutu karena angsurannya menjadi lebih besar. Perbedaan bisa terjadi tergantung tabel mana yang akan digunakan. Sesuai dengan namanya, tentunya Tarif Efektif Rata-rata artinya akan ada yang naik dan ada yang turun. Yang pasti, secara kumulatif dalam satu tahun jumlah pajaknya akan sama saja karena akan dilakukan hitung ulang pada bulan terakhir atau Desember.

Perubahan lain

Hal lain yang berbeda dari TER adalah perusahaan diwajibkan untuk memberikan bukti potong bulanan kepada karyawannya sehingga pegawai dapat dengan mudah melakukan cross check dengan penghitungan pajak yang dilakukan oleh kantornya. Alat bantu yang bisa digunakan karyawan adalah kalkulator pajak digital yang dirilis di website djponline. Diharapkan nantinya check and balance dapat terwujud.

Tidak berhenti sampai di situ, selain beda di konsep, TER juga pada akhirnya memperbaharui aplikasi yang selama ini digunakan dalam pelaporan PPh 21. Jika dulu pelaporan berbasis aplikasi desktop, maka sejak kemunculan TER, pelaporannya pun dialihkan ke web based pada situs djponline. Jika dulu pada aplikasi desktop, penghitungan pajak dilakukan secara manual, maka pada web based ini sistem yang akan melakukan penghitungan pajaknya sehingga kita tidak perlu repot-repot menengok ke tabelnya. Lagi-lagi kesederhanaan ditawarkan.

Yang pasti penerapan kebijakan tarif efektif rata-rata tidak memberikan tambahan beban pajak baru bagi masyarakat. Pada dasarnya TER hanya digunakan untuk menghitung angsuran pajak pada Januari hingga November bagi pegawai tetap, sedangkan pada Desember akan dilakukan penghitungan ulang menggunakan ketentuan yang telah berlaku selama ini.

Sumber : news.detik.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only