Perpres Direvisi, Pemerintah Bisa Kejar Pengemplang Pajak di Luar Negeri

Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 56 Tahun 2024 untuk bisa memberikan dan meminta bantuan penagihan pajak dengan negara atau yurisdiksi mitra.

Perpres tersebut merevisi Perpres Nomor 159/2014 tentang pengesahan convention on mutual administrative assistance in tax matters (konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan).

Adapun revisi tersebut bertujuan agar pemerintah Indonesia dapat melakukan perjanjian kerja sama penagihan pajak berdasarkan Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters secara resiprokal dengan otoritas pajak negara atau yurisdiksi mitra.

“Bahwa Perpres 159/2014 (…) belum menampung pengaturan untuk melakukan kerja sama bantuan penagihan pajak berdasarkan perjanjian Internasional secara resiprokal dan belum mengatur mengenai penarikan kembali pernyataan (declaration) yang dilakukan melalui notifikasi, sehingga perlu diubah,” bunyi pertimbangan dalam Perpres tersebut, dikutip Senin (6/5).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan bahwa Perpres tersebut bertujuan untuk mencabut reservasi Indonesia pada MAC (Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters) sehingga Indonesia bisa memberikan dan meminta bantuan penagihan pajak untuk negara atau yurisdiksi mita terkait utang pajak penghasilan (PPh).

“Nantinya akan ada ketentuan turunan dari Perpres tersebut,” ujar Dwi kepada Kontan.co.id, Senin (6/5).

Dengan adanya Perpres tersebut, Dwi bilang, DJP Kemenkeu dapat melakukan tindakan penagihan pajak atas aset Wajib Pajak yang berada di luar negeri.

Hal serupa juga dapat dilakukan oleh negara mitra di Indonesia sejalan dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra tersebut.

Sebelumnya, revisi Perpres bantuan penagihan pajak tersebut juga sempat disinggung oleh Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo pada Konferensi Pers pada Februari 2024 lalu.

Suryo mengatakan, untuk melaksanakan bantuan penagihan pajak maka pemerintah perlu merevisi Perpres terlebih dahulu.”Karena ada satu Perpres yang saat ini dalam proses, yaitu menghilangkan reservasi Indonesia mengenai aktivasi bantuan penagihan untuk tujuan perpajakan,” kata Suryo.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menjelaskan bahwa Perpres 56/2024 merupakan salah satu bentuk produk hukum ketika pemerintah Indonesia meratifikasi perpanjian Internasional di bidang perpajakan. Ia bilang, rujukan aturannya ada di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perpanjian Internasional.

Prianto menyampaikan, pembaruan mendasar dari perjanjian yang lama terhadap perjanjian yang baru tersebut ada pada dua hal. Pertama, kerjasama bantuan penagihan secara timbal balik (resiprokal). Kedua, penarikan kembali pernyataan (declaration) yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia di setiap saat melalui notifikasi (pernyataan tertulis atau sesuai aturan Internasional).

“Jadi, ratifikasi di Perpres 56/2024 juga tidak terlepas dari Pasal 20A UU KUP. Dengan demikian, DJP sudah memiliki payung hukum legal untuk melakukan penagihan aktif atas utang pajak Indonesia yang ada di luar negeri,” terang Prianto.

Dengan adanya Perpres tersebut, DJP Kemenkeu dapat melakukan penagihan pajak secara aktif atas utang pajak  Wajib Pajak Dalam Negeri meskipun yang bersangkutan ada di luar negeri, termasuk keberadaan aset-asetnya.

“Ujungnya adalah penerimaan pajak dari sektor penagihan pajak dapat lebih dioptimalkan,” katanya.

Sebagai informasi, merujuk pada declaration yang terlampir pada Perpres 56/2024 pemerintah menyatakan untuk tidak menyediakan bantuan dalam penagihan berbagai klaim pajak atau penagihan terkait dengan denda administratif yang diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 16 Konvensi untuk seluruh pajak-pajak yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b.i, huruf b.ii, huruf b.iii. A, D, E, F, G dan huruf b.iv Konvensi.

Pajak-pajak yang dimaksud adalah pph yang dikenakan atas nama subdivisi politik atau pemerintah lokal, iuran jaminan sosial yang bersifat wajib, pajak warisan dan pajak hadiah, pajak yang bersifat spesifik atas barang dan jasa tertentu seperti cukai serta pajak kendaraan bermotor.

Kemudian ada juga pajak atas kepemilikan aset bergerak selain kendaraan bermotor, pajak-pajak lainnya dan pajak-pajak dalam huruf b.iii yang dikenakan atas nama subdivisi politik atau pemerintah lokal.

Dengan begitu, pemerintah Indonesia bisa memberikan bantuan penagihan atas klaim pajak sehubungan dengan PPh, PPN, pajak atas capital gains, pajak kekayaan bersih dan pajak atas aset tak bergerak.

Sumber : nasional.kontan.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only