DPR: Belanja Perpajakan Belum Memberikan Dampak Optimal ke Perekonomian

Komisi XI DPR menyoroti efektivitas belanja perpajakan yang dijalankan pemerintah. Dalam hal ini perlu ada kejelasan mengenai sektor yang menerima dampak belanja perpajakan dan kompensasi ke dampak ekonomi dari kebijakan tersebut.

Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan Andreas Eddy Susetyo mengatakan bila pemerintah memberikan belanja perpajakan dalam bentuk bea masuk untuk kebijakan hilirisasi maka harus dilihat seberapa besar dampak kebijakan ini untuk penerimaan negara. Dalam hal ini harus ada upaya pemerintah dalam menghubungkan bila ada pengurangan saat ada upaya pemberian insentif perpajakan ke suatu sektor tetapi pada saat yang sama juga harus ada kompensasi ke penerimaan negara.

“Bagaimana menghubungkan kebijakan yang ada, sehingga saat membahas penerimaan negara kita bisa melihat minus di bea dan cukai tetapi ada positifnya di sisi penerimaan lain. Apalagi belanja perpajakan setiap tahun meningkat. Pertanyaannya siapa yang menikmati dan mengukurnya bagaimana?” ucap Eddy dalam rapat kerja di Gedung DPR pada Senin (10/6/2024).

Belanja perpajakan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemberian insentif pajak. Secara tradisional kebijakan tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu. Berdasarkan laporan belanja perpajakan tahun 2022 tercatat bahwa proyeksi belanja perpajakan tahun 2024 adalah Rp 374,53 miliar dan tahun 2025 adalah Rp 421,82 triliun.

Dia mengatakan untuk kedepannya harus ada rincian mengenai sektor-sektor yang mendapatkan insentif dari kebijakan belanja peperjakan. Pasalnya perlu ada pendetailan sejauh mana kompensasi penerimaan terhadap sektor yang sudah mendapatkan kompensasi dari insentif hasil belanja perpajakan.

“Kalau itu masuk ke insentif perpajakan apakah sudah ada kajian? karena kalau ini berkurang kemudian tidak dikompensasi ke penerimaan pajak terus bagaimana dampak hilirisasi,” kata dia.

Sebelumnya Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan faktor utama yang harus dibenahi di dalam kebijakan belanja perpajakan saat ini berkaitan dengan paradigma pelayanan (service) dan kepercayaan (trust) . Dalam artinya , pada tahap awal otoritas memberi pelayanan dan kemudahan kepada wajib pajak yang akan memanfaatkan insentif pajak. Namun, ketika wajib pajak akan merealisasikan insentif tersebut, otoritas pajak punya kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Kondisi demikian menjadi permasalahan karena faktor kepercayaan. Di satu sisi, ada kepercayaan yang diberikan otoritas pajak kepada wajib pajak. Di sisi lain, ada ketidakpercayaan otoritas pajak ketika wajib pajak akan merealisasikan insentif pajak yang ditawarkan pemerintah. Kondisi tersebut membuat wajib pajak enggan memanfaatkan insentif pajak yang diberikan pemerintah.

“Dari sisi paradigma service dn trust, aspek trust harus diberikan pemerintah kepada wajib pajak yang telah mendapatkan insentif pajak. Dengan demikian, momok pemeriksaan tidak mengecilkan minat wajib pajak memanfaatkan insentif pajak,” pungkas dia.

Sumber : investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only