DJP: G7 Pajaki Perusahaan Digital 15%, Tak Pengaruhi Sistem Perpajakan RI.

Kelompok tujuh negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia atau G7 sepakat menarik pajak perusahaan global sebesar 15% atas penghasilan yang didapat dari negara-negara terkait. Ketentuan ini juga berlaku bagi perusahaan digital sekaliber Google, Amazon, dan Facebook. Anggota G7 beranggotakan Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, dan Kanada.Langkah menarik pajak digital, ini diambil untuk mengisi penerimaan di 7 negara tersebut, karena  kebutuhan negara-negara untuk menanggulangi dampak pandemi virus corona. Menanggapi kesepakatan tersebut,  Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Neilmaldrin Nood mengatakan konsensus pajak atas perusahaan multinasional itu tidak secara langsung memberi pengaruh kepada sistem perpajakan Indonesia. Pasalnya saat ini, tarif pajak korporasi di Indonesia saat ini sebesar 22% dan akan turun menjadi 20% pada tahun 2022. “Artinya tarif pajak kita sudah lebih tinggi daripada tarif Global Minimum Tax yang disepakati negara-negara G7,”tuturnya kepada Investor Daily Selasa (8/6). Kendati begitu, kesepakatan negara-negara G7 ini akan menjadi dasar yang kuat untuk konsensus multilateral yang sedang didiskusikan dalam forum OECD inclusive framework, dan Indonesia menjadi salah satu anggotanya. “Sampai saat ini, negara-negara anggota terus berkomitmen untuk terlibat secara aktif dalam pencapaian konsensus global, yang tidak hanya terkait Global Minimum Tax tetapi atas pemajakan ekonomi digital secara luas, yang direncanakan tercapai pada pertengahan tahun 2021 ini,”tegasnya Terkait payung hukum, dengan adanya  Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pajak penghasilan dari perusahaan digital yang merupakan treaty partner dengan Indonesia akan dikenakan Electronic Transaction Tax (ETT) atau Pajak Transaksi Elektronik (PTE). “Untuk non-treaty partner  pemerintah sudah bisa melakukan pemungutan PPN produk digital dan Pajak Penghasilan (PPh) melalui UU No 2 tahun 2020,” tuturnya. Sementara khusus untuk PPh dari treaty partner pemungutannya dapat dilakukan setelah konsensus global tercapai, namun istilahnya bukan PPh, melainkan Electronic Transaction Tax (ETT) atau Pajak Transaksi Elektronik (PTE). “Apabila konsensus global gagal tercapai pada akhirnya banyak negara di dunia akan melanjutkan rencana penyusunan ataupun implementasi regulasi yang dibutuhkan untuk secara fair menerapkan skema pemajakan ekonomi digital,” ujarnya. Untuk diketahui, dalam UU 11/2020,  PTE baru dapat diterapkan apabila memenuhi dua syarat. Pertama, adanya pemenuhan kehadiran ekonomi signifikan atau significant economic presence (SEP) dari pelaku usaha PMSE luar negeri di Indonesia, dengan kata lain tidak perlu kehadiran fisik perusahaan. Kedua, pelaku usaha PMSE tersebut berasal dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Dari sisi tarif PTE lebih lanjut akan diatur dalam aturan pelaksana jika kebijakan tersebut diterapkan.

Sumber: investor.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only