Rencana Pemerintah Tarik Pajak Bahan Pokok Bisa Ganggu Pemulihan Ekonomi


JAKARTA – Pemerintah berencana menjadikan bahan pokok atau sembako sebagai objek pajak pertambahan nilai (PPN).

Hal itu tertuang dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Kelima Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Dalam draf RUU tersebut, pemerintah akan menerapkan PPN atas bahan pokok yang bersuber dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan. Hal itupun menuai polemik.

“Kami paham bahwa pemerintah harus memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun ketika wacana ini disampaikan, dalam waktu yang kurang tepat, apalagi menyangkut bahan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka hal itu hanya akan memicu polemik yang bisa menganggu upaya pemulihan ekonomi,” ujar Wakil Ketua Komisi XI DPR, Fathan Subchi.

Menurut dia, wacana pemerintah menerapkan PPN atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan dinilai kontraproduktif bagi upaya recovery (pemulihan) ekonomi yang saat ini masih terpukul akibat pandemik covid-19.

Ia mengaku telah menerima RUU KUP yang menyebutkan ada tiga opsi skema tarif untuk menetapkan PPN Bahan Pokok, yakni tarif umum dipatok 12 persen, tarif rendah sesuai skema multitarif 5 persen, dan tarif final dipatok 1 persen.

“Skema penetapan tarif PPN untuk komoditas bahan pokok ini pertama kali dimunculkan karena di undang-undang sebelumnya 11 bahan pokok bebas pajak, bahkan Mahkamah Konstitusi (MK) melebarkan pemaknaan 11 bahan pokok itu menjadi apapun komoditas yang vital bagi masyarakat,” jelasnya.

Fathan menyebut, di beberapa negara lain komoditas bahan pokok juga menjadi objek pajak. Kendati demikian, apa yang terjadi di negara lain tidak bisa diterapkan begitu saja di Indonesia.

“Ada perbedaan konteks, seperti stabilitas harga komoditas, kepastian serapan pasar hasil panen, dan beberapa indikator lain yang kebetulan di Indonesia masih belum stabil,” terangnya.

Sekretaris Fraksi PKB itu mengungkapkan, rata-rata harga komoditas bahan pokok di Indonesia masih belum stabil. Ia mencontohkan fluktuasi harga gabah yang kerap merugikan petani. Pun juga serapan hasil panen beberapa komoditas bahan pokok yang kerap belum terjamin.

“Kalau mau menaikan pajak harus diimbangi dengan kemampuan pemerintah dalam menyetabilkan harga, termasuk memastikan serapan hasil panen,” tandasnya.

Fathan juga menyoroti momentum digulirkannya wacana PPN untuk bahan pokok. Saat ini, ia menyebut, situasi perekonomian makro masih belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi covid-19. Pertumbuhan ekonomi pun masih minus.

“Memunculkan wacana pajak bahan pokok di saat perekonomian belum sepenuhnya pulih akan memberikan dampak negatif, seperti penurunan daya beli masyarakat, meningkatkan biaya produksi, hingga menekan psikologis petani. Harusnya pemerintah lebih hati-hati dalam mengulirkan wacana yang sensitif,” tukasnya. (Tribunnews/Seno Tri Sulistiyono)


Sumber: jateng.tribunnews.com

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only