Pemerintah Pilih Opsi Reformasi Pajak untuk Genjot Kapasitas Fiskal

Selain mencabut pengecualian terhadap objek yang terbebas dari Pajak Pertambahan Nilai, pemerintah juga akanmenambah lapisan kriteria pada Pajak Penghasilan Orang Pribadi demi menggenjot penerimaan negara.

JAKARTA — Pemerintah memilih jalan reformasi perpajakan sebagai opsi menggenjot kapasitas fiskal yang memadai untuk pendanaan pemulihan ekonomi. Reformasi dilakukan di antaranya dengan mengurangi fasilitas Pajak Pertambahan Nilai serta menambah lapisan kriteria pada Pajak Penghasilan Orang Pribadi.

Dalam Rapat Kerja Bersama Komis XI Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (28/5/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pajak bukan hanya merefleksikan kontribusi masyarakat dalam pembangunan negara, namun juga wujud perlindungan kepada masyarakat melalui instrumen belanja seperti subsidi.

Dalam Rapat Kerja Bersama Komis XI DPR RI, Senin (28/5/2021), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pajak bukan hanya merefleksikan kontribusi masyarakat dalam pembangunan negara, namun juga wujud perlindungan kepada masyarakat melalui instrumen belanja, seperti subsidi.

Pemerintah berencana mengurangi pengecualian dan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) guna menggenjot penerimaan pajak melalui Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Pengaturan kembali obyek dan fasilitas PPN bertujuan untuk membuat sitem perpajakan berkeadilan serta tepat sasaran.

Pajak bukan hanya merefleksikan kontribusi masyarakat dalam pembangunan negara, namun juga wujud perlindungan kepada masyarakat melalui instrumen belanja, seperti subsidi.

Menurut Sri Mulyani, pengecualian PPN atas barang dan jasa serta fasilitas di Indonesia terlalu banyak dibandingkan negara Asia lainnya. “Ini menyebabkan distorsi dan terjadinya ketimpangan kontribusi sektor usaha pada produk domestik bruto dan PPN dalam negeri,” katanya.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa akan diterapkan skema multitarif untuk memberikan keadilan bagi wajib pajak. Dengan demikian, tarif umum PPN akan dinaikkan dari 10 persen menjadi 12 persen. Namun, terdapat kisaran tarif 5-25 persen untuk barang dan jasa tertentu.

Ia memastikan barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan akan dikenakan PPN dengan tarif yang lebih rendah dari tarif normal atau dapat tidak dipungut PPN. “Sementara bagi masyarakat yang tidak mampu dapat dikompensasi dengan pemberian subsidi,” ujarnya.

Selain mengurangi pengecualian PPN, pemerintah juga akan menambah lapisan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP). Orang dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun akan mengalami kenaikan tarif pajak sebesar 35 persen.

“Kami akan melalukan pengubahan tarif  PPh OP yang kami tambahkan satu lapisan di atas, yaitu 35 persen untuk mereka yang pendapatannya di atas Rp 5 miliar per tahun agar lebih mencerminkan keadilan,” ucap Sri Mulyani.

Saat ini, hanya terdapat empat lapisan tarif pajak orang pribadi berdasarkan penghasilan per tahun. Pertama, penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 50 juta dalam satu tahun maka dibanderol PPh sebesar 5 persen. Kedua, penghasilan di kisaran Rp 50 juta sampai dengan Rp 250 juta sebesar 15 persen.

Orang dengan penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun akan mengalami kenaikan tarif pajak sebesar 35 persen.

Ketiga, penghasilan di kisaran Rp 250 juta – Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif PPh sebesar 25 persen. Adapun yang keempat, penghasilan kena pajak di atas Rp 500 juta per tahun dikenakan tarif PPh senilai 30 persen.

Menurut Sri Mulyani, penambahan lapisan diperlukan karena pemajakan atas orang kaya tidak maksimal, salah satunya karena pengaturan terkait  fringe benefit (penghasilan natura atau kompensasi non-upah dari perusahaan terhadap pegawai).

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, menambah jumlah lapisan PPh OP menjadi hal yang sepantasnya dilakukan pemerintah. Menurut dia, tahun depan merupakan waktu yang tepat untuk pemerintah menerapkan rencana kebijakan tersebut.

“Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah lapisan peraturan PPH yang minim, sehingga konsekuensinya, kebijakan PPh OP menjadi kurang progresif dibandingkan dengan negara lain,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menyebut jika reformasi perpajakan bisa berjalan sesuai rencana. Tauhid berpendapat bahwa kebijakan pemerintah ke depannya bisa lebih efektif.

Namun, ia menilai masih ada sejumlah alternatif menambah penerimaan negara selain mencabut pengecualian PPN atas bahan pokok, salah satunya adalah dengan pemanfaatan sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) yang mencapai Rp 178,8 triliun pada Maret 2021.

“Besaran Silpa ini menunjukkan pemerintah sudah berkorban banyak dengan menarik utang, tetapi pemanfaatannya belum optimal,” kata dia. Selain mengoptimalkan Silpa, lanjut Tauhid, pemerintah juga perlu memaksimalkan penyerapan dana Pemulihan Ekonomi Nasional agar ekonomi bisa tumbuh dan meningkatkan penerimaan negara.

Sumber : Harian Kompas

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only