Industri Keberatan Pajak Karbon

JAKARTA — Rencana pemerintah mengutip pajak karbon direspons keberatan kalangan pelaku industri di dalam negeri. Mayoritas pelaku industri beralasan pajak karbon bisa menurunkan daya saing komoditas ekspor.

Dalam Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022, pemerintah bakal fokus pengenaan pajak karbon pada industri pulp and paper, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Aromatik, Olefin, dan Plastik (Inaplas) Fajar Budiyono meminta pemerintah meninjau ulang terkait dengan wacana pengenaan pajak karbon.

Sampai saat ini, paparnya, pemerintah memang belum melakukan sosialisasi secara langsung tetapi pihaknya sudah memiliki simulasi jika pengenaannya akan sesuai wacana Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

“Tentunya produk kami akan lebih mahal US$10 per metrik ton jadinya akan kalah dengan impor dan akan mahal jika diekspor.

Juga untuk yang terintegrasi seperti Chandra Asri harus membayar mahal karena bisa US$4 juta per tahun,” katanya kepada Bisnis, Senin (28/6).

Fajar menyebutkan ada tiga hal yang disoroti industri petrokimia terkait dengan pajak karbon itu. Pertama, pajak karbon sebaiknya lebih dahulu dikenakan pada produk impor sembari produsen dalam negeri bersiap lebih mengurangi emisi.

Kedua, pemerintah harus merinci detail cara pengukuran emisi yang dikenakan nanti. Ketiga, penekanan harga menjadi di bawah US$6 per MMBTU agar industri tidak kembali pada energi fosil.

“Jadi lebih cakep juga kita mengenakan kebijakan ini setelah negara lain semua sudah. Kalau Malaysia dan Singapura aja tidak kita bisa mati konyol sendiri,” ujarnya.

Fajar memastikan pabrikan terus berupaya untuk menuju teknologi lebih. Untuk itu, semangat kebijakan yang baik ini bisa diarahkan terlebih dahulu dengan industri yang tidak rawan produk impor.

Untuk menjaga daya saing industri, dia menyatakan kebanyakan komitmen investasi ke depan adalah pabrikan yang berorientasi ekspor.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta berharap pemerintah melakukan persiapan terlebih dahulu yakni dengan sikronisasi kebijakan sebelum melakukan pungutan pajak karbon.

Menurutnya, pelaku usaha juga sudah menyadari pentingnya mengurangi emisi karbon. Hal itu sesuai dengan tuntutan pembeli yang arahnya pada energi terbarukan.

“Kami juga menyadari ada komitmen Eropa di mana 2050 jika tidak dipatuhi produk kami tidak bisa ke sana. Namun, yang jadi masalah ini masih singkronisasi antar kebijakan pemerintahnya sendiri,” katanya kepada Bisnis.

Redma mencontohkan salah satunya dari hal yang paling dasar yakni ketentuan limbah, dengan fly ash bottom ash (Faba) industri dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3.

Pasalnya, di negara lain Faba tidak termasuk B3.Secara perhitungan, komposisi produksi Indonesia limbah masih sangat tinggi. Un-tuk itu, sebaiknya pemerintah menyelaraskan dahulu kebijakan antarkementerian.

“Jadi jangan hanya pajaknya sendiri, lingkungan hidup sendiri, sedangkan ada komponen di sini yang di negara lain tidak terhitung limbah. Jatuhnya industri yang selalu dibilang tidak berdaya saing,” ujarnya.

Sekretaris Perusahaan PT Brantas Abipraya (Persero) Miftakhul Anas menyatakan implementasi pajak karbon bisa menjadi berkah bagi perseroan.

Menurutnya, implementasi pajak karbon dapat memberikan peluang bagi salah satu anak usaha perseroan, yakni Brantas Energi. Alasannya, realisasi pajak karbon dapat merangsang permintaan energi terbarukan di alam negeri.

“Brantas Energi adalah penyedia tenaga kelistrikan melalui kegiatan investasi pembangkit listrik yang ramah lingkungan. Kami dapat berkontribusi terhadap pembatasan kenaikan pemanasan global,” katanya.

Miftakhul menjabarkan permintaan energi terbarukan akan terangsang mengingat harga batu bara akan menjadi tinggi akibat pajak tersebut.

Walaupun akan merangsang permintaan pada anak usaha, Miftakhul berujar implementasi pajak tersebut dapat menjadi pedang bermata ganda bagi perseroan.

Pasalnya, tingginya harga batu bara akan membuat biaya transportasi dan penggunaan alat berat akan meningkat. Alhasil, lanjutnya, biaya operasional dan inefisiensi perseroan akan meningkat.

“Apapun itu yang mejadi kebijakan pemerintah pastinya akan kami patuhi, dan akan kami cari peluang yang mungkin akan timbul,” ucapnya.

INDUSTRI SEMEN

Sebaliknya, Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menolak adanya implementasi pajak karbon kepada pabrik semen. Alasan-nya, pengenaan pajak anyar tersebut akan membuat utilisasi industri kembali terpuruk.

Ketua Umum ASI Widodo Santoso mengatakan pengenaan pajak karbon akan membuat biaya produksi bertambah seti-daknya Rp50.000 per ton semen. “[Pabrikan semen] bisa bangkrut. [Pa-jak karbon] tidak relevan.

Daya saing produk kita akan jatuh karena pesaing kita [di pasar regional] adalah Vietnam, Thailand, Malaysia dan negara lain yang tidak mengenakan pajak karbon,” katanya kepada Bisnis.

Widodo menyatakan kegiatan ekspor adalah satu-satunya cara industri semen nasional untuk mengungkit utilisasi pabrikan.

Konsumsi semen nasional pada 2020 belum mampu mengungkit utilisasi ke atas level 60%. Untungnya, kegiatan ekspor membuat utilisasi industri semen di level 62% pada 2020 walau permintaan domestik anjlok sekitar 10%.

Widodo setuju bahwa harus ada langkah untuk me-nangkal pemanasan global. Menurutnya, cara yang sesuai untuk diterapkan pada industri semen nasional adalah meminimalisasi karbon dengan skema perdagangan karbon.

Widodo mengusulkan pemerintah menetapkan batas atas karbon yang dapat dikeluarkan sebuah pabrikan. Pabrikan dapat mengeluarkan karbon dari yang ditentukan dengan membeli kuota karbon dari pabrikan yang belum menyentuh kuota maksimal.

“Itu lagi dibahas. Rencananya [aturan teknis tersebut akan dikeluarkan] dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koordinasi Perekonomian.

Tapi, rencana pajak karbon itu membunuh industri [semen],” ucapnya. Di sisi lain, Widodo menyampaikan industri semen nasional telah berhasil mengurangi emisi karbon selama 10 tahun terakhir.

ASI mendata industri semen nasional memproduksi emisi sebanyak 725,7 kilogram CO2 per ton semen pada 2021, sedangkan data 2020 menunjukkan angka tersebut turun menjadi 641,5 kilogram CO2 per ton semen.

Dengan kata lain, industri semen telah mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 11,6% selama 10 tahun terakhir. Secara absolut, industri semen telah mengurangi emisi GRK sebanyak 6 juta ton pada 2010—2020.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan saat ini waktunya tidak tepat jika pemerintah ingin mendiskusikan atau bahkan mengenakan pungutan pajak karbon.

Alasannya, lonjakan kasus saat ini belum bisa terprediksi dan baik dunia usaha serta masyarakat sedang kembali mengetatkan mobilitas.

“Saya pikir kita perlu melewati kondisi saat ini dulu tetapi setalah itu saya juga sepakat adanya pajak karbon,” katanya kepada Bisnis.

Dia menilai desain pajak karbon harus benar-benar disusun dengan baik mulai dari tingkat definisi. Pasalnya, kondisi setiap masyarakat dan badan usaha akan berbeda-beda.

Faisal mencontohkan dari definisi pembukaan hutan yang sudah tentu akan meningkatkan karbon. Namun, kondisi penghasil karbon yang lebih tinggi atau lebih rendah harus diperjelas kembali agar tidak membuat perselisihan ke depannya.

“Jadi lebih baik fokus dahulu penanganan Covid-19 dengan tidak memberikan distraksi yang lebih urgent,” ujarnya.

Sumber : Harian Bisnis Indonesia

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only