Sri Mulyani Disarankan ‘Korek’ Pajak dari Tambang-Konstruksi

Jakarta, CNBC Indonesia – Ekonom Senior INDEF Faisal Basri mengusulkan agar pemerintah khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) di bawah Menkeu Sri Mulyani memburu pajak dari sektor pertambangan, dan konstruksi & real estate. Pasalnya, penerimaan pajak sektor-sektor tersebut tidak setara dengan kontribusi sektor ini kepada PDB.

Mengutip data Kementerian Keuangan dan BPS, nilai persentase penerimaan pajak kepada persentase sumbangan terhadap PDB beberapa sektor adalah seperti berikut:

bps

Lantas, jika melihat tax coefficient (% penerimaan pajak dibagi dengan % sumbangan kepada PDB) untuk kedua sektor tersebut, maka hasil yang didapatkan adalah 0,66 untuk sektor pertambangan, dan 0,48% untuk sektor konstruksi & real estate.

Padahal, sektor-sektor lain seperti jasa keuangan & asuransi, perdagangan, industri manufaktur, dan transportasi & pergudangan semuanya mencatat tax coefficient di atas tingkat 1.

“Jadi persen penerimaan pajak dibagi persen penerimaan PDB dapat tax coefficient. Nah buru nih pertambangan, konstruksi, ini banyak potensi nilai pajak. Start dari sini,” ujarnya dalam webinar INDEF Urgensi Reformasi Fiskal di Tengah Pandemi, Minggu (4/7).

Faisal menunjukkan bahwa koefisien pajak sektor pertambangan menurun dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Dimana sekarang tingkatnya berada di 0,66, pada tahun 2012-2016, rata-rata tingkat hal ini berada di 1,4.

“Jadi ada yang aneh di pertambangan, pada 2012-2016, koefisiennya masih di atas 1, sekarang 0,66. Nah ini gara2 smelter nikel dikasih fasilitas, luar biasa di surga saja nggak seperti itu fasilitas. Jadi kita super surga,” kata Faisal.

Lantas, Faisal merekomendasikan untuk mengubah beberapa unsur pengenaan pajak kepada sektor-sektor tersebut. Khususnya adalah untuk menghapuskan pengenaan pajak final perusahaan konstruksi. Sebagai gantinya, Faisal menilai sektor-sektor tersebut seharusnya bayar PPh, seperti dengan sektor-sektor lainnya.

“Kita hapus. Jadi sekarang mereka pajaknya final. Nah berlakukan seperti sektor-sektor lain, ya bayar PPh 22% kalo sekarang, tahun depan 20% dari keuntungan. Jangan berlakukan pajak final. Kan perusahaan konstruksi sebagian besar juga BUMN, lebih gampang,” imbuhnya.

“Konstruksi ini no. 4 sumbangannya ke PDB. Jadi jangan ambil yang cacing kremi. Yang ambil yang dagingnya tebal,” katanya.

Serapan PEN Masih Lemah

Kepala Center of Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman menilai bahwa realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) masih di bawah tingkat yang seharusnya sudah dicapai pada triwulan II-2021.

Adapun realisasi PEN untuk triwulan II sudah mencapai 31%, dari total pagu sebesar Rp 699,4 T. Rincian adalah seperti berikut:

– Sektor Kesehatan: Rp 35,41 T, setara dengan 20,5% dari target

– Perlindungan Sosial (Perlinsos): Rp 64,04 T, setara dengan 43,2% dari target

– Program Prioritas: Rp 37,10 T, setara dengan 29% dari target

– Program Dukungan Umum dan Korporasi: Rp, 41,37 T, setara dengan 21,8% dari target

– Klaster Insentif Usaha: Rp 41,37 T, setara dengan 72,9% dari target

– Kredit Usaha Rakyat: Rp 111,9 T, setara dengan 44,26% dari target

Menurut Rizal, realisasi beberapa unsur dari hal tersebut seharusnya lebih tinggi dari yang sudah tercapai. Hal ini dikarenakan triwulan II menjadi pemicu untuk memperbaiki kinerja ekonomi triwulan berikutnya.

“Dan ini bisa kita lihat katakanlah untuk sektor kesehatan, baru 20%. Kemudian perlinsos baru 43%, padahal, kalau ingin kita dorong di triwulan II, karena triwulan II ini kan trigger, gitu ya, dalam memperbaiki kinerja ekonomi triwulan berikutnya, karena sebagai landasan yang kuat untuk mendorong perekonomian di triwulan berikutnya,” ujarnya.

Selanjutnya, Rizal menilai bahwa realisasi perlinsos, program prioritas, dukungan umum dan korporasi, dan KUR masih kecil. Khususnya, Rizal menyebut, realisasi KUR pada triwulan II minimal seharusnya mencapai tingkat 50%.

“Tapi ternyata, kalau kita lihat, perlinsos pun masih belum optimal. Bahkan saya kira, sasarannya pun, ini mungkin masih belum banyak perbaikan dari tahun lalu. Kemudian program prioritas juga baru 29%, dukungan umum dan korporasi juga baru [21,8%], serta KUR, bayangkan, untuk KUR pun masih kecil [44,26%], begitu. Dan artinya, seharusnya masuk triwulan II ini, ya minimum 50%, 50% itu mestinya sudah tercapai,” lanjutnya.

“Tapi lagi-lagi ini pasti akan mempengaruhi kinerja di triwulan II nanti,” katanya.

Sumber: CNBC Indonesia, Minggu 4 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only