Tarif Agresif Wajib Pajak Super Rich

Bisnis, JAKARTA — Masyarakat kaya dan superkaya di Tanah Air bakal masuk radar otoritas pajak dalam perluasan lapisan atau bracket Pajak Penghasilan orang pribadi. Kebijakan tersebut diyakini mampu menambah pundi-pundi penerimaan minimal senilai Rp16 triliun dalam 1 tahun.

Perluasan bracket Pajak  Penghasilan  (PPh)  orang  pribadi  itu dilakukan dengan menambah tarif untuk wajib  pajak  dengan  penghasilan  cukup  tinggi.

Dalam  aturan  yang  selama  ini  berlaku, pemerintah hanya menerapkan  empat  macam  tarif  PPh  orang pribadi. Pertama, 5% untuk lapisan  Penghasilan  Kena  Pajak  (PKP)  sampai  dengan  Rp50  juta  per  tahun.

Kedua, 15% untuk lapisan PKP di  atas  Rp50  juta-Rp250  juta,  ke   tiga  25%  untuk  lapisan  PKP  di  atas  Rp250  juta-Rp500  juta,  dan  keempat  tarif  sebesar  30%  untuk lapisan PKP di atas Rp500 juta.  (Lihat  infografik)

Adapun  dalam  Rancangan  Undang-Undang  (RUU)  tentang  Perubahan  Kelima  Atas  UU  No.  6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah  berencana  membagi  lapisan  keempat,  di  mana  wajib  pajak  orang  pribadi  dengan  penghasilan  di  atas  Rp5  miliar  akan  dikenai  tarif  35%.

“Ini sebagai bagian dari rencana pemerintah untuk menyasar masyarakat atau wajib pajak high wealth  individual,”  kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neil maldrin Noor kepada  Bisnis,  pekan  lalu.

Mengacu pada data Ditjen Pajak, populasi wajib pajak orang pribadi saat ini paling banyak berada pada lapisan pertama, di mana  84,0%  dari total populasi atau sebanyak 8,81  juta  orang.

Populasi wajib pajak pada lapisan kedua  adalah  sebesar  12,1%,  atau  sebanyak 1,27  juta  orang,  sedangkan  populasi  wajib  pajak  pada lapisan ketiga adalah sebesar 2,3%, atau sebanyak 240.313 orang.

Adapun populasi wajib pajak pada lapisan keempat adalah sebesar 1,64%, atau sebanyak 166.728 orang memiliki  penghasilan  di  atas  Rp500  juta.

Direktorat  Jenderal  Pajak  mencatat bahwa penambahan bracket dengan  mengacu  pada  tarif  35%  akan  menyumbang  PPh  sebesar  Rp16 triliun. Angka tersebut setara dengan  19,7%  dari  total  keseluruhan  PPh  orang  pribadi  yang  berhasil dipungut oleh pemerintah.

Akan tetapi, Neil mengatakan bahwa angka potensial yang bisa digali oleh pemerintah bisa berubah sejalan dengan penambahan atau pengurangan jumlah wajib pajak yang  disasar.

“Untuk waktu penerapannya tarif baru ini dan terkait dengan potensi penerimaannya saat ini masih dalam pembahasan,”  paparnya.

Menurut  dia, skema tersebut  dapat  lebih  meningkatkan  kontribusi penerimaan pajak dari high net  worth  individual  dalam  jangka  panjang  tanpa  mengganggu  struktur  keuangan  masyarakat  menengah  ke  bawah.

Dalam kaitan itu, Bisnis mencatat, substansi  penambahan  bracket PPh  orang  pribadi  dalam  RUU  KUP  ini  sejalan  dengan  program  kerja Ditjen Pajak dalam Laporan Kinerja  2020.

Dalam laporan itu, high wealth individual disasar karena besarnya potensi dan kedudukannya sebagai beneficial owner dari seluruh bisnis usaha  yang  dijalankan.

Kendati demikian, arah kebijakan Direktorat Jenderal Pajak tersebut menghadapi tantangan yang cukup berat.

Salah  satunya  adalah  adanya  dugaan  bahwa  penghasilan  yang  dilaporkan  oleh  wajib  pajak  strategis dengan penghasilan yang dilaporkan  kepada  otoritas  pajak  tidak  linier.

Menyinggung hal itu, Neil optimistis pemerintah bisa mendeteksi seluruh kekayaan dari wajib pajak kelas ini. Musababnya, populasi  masyarakat  yang  tergolong  HWI  sangat  terbatas.

“Kalau kita  berbicara  tentang  wajib  pajak  yang  tergolong  HWI  tentu  populasinya  tidak  terlalu  banyak. Jadi siapa-siapanya dapat kita deteksi,” kata dia.

Lebih jauh Neil menambahkan Direktorat Jenderal Pajak juga akan memaksimalkan penggunaan data yang didapat dari pihak ketiga.

Seperti diketahui, sesuai dengan UU  No.  9/2017  tentang  Akses  Infor masi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, institusi tersebut menerima informasi dari instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Ada pun informasi bisa berupa data keuangan atau kepemilikan  harta, dan sebagainya.

“Sumber informasi itu yang menjadi salah satu dasar bagi kami untuk menilai kepatuhan wajib pajak-wajib pajak terkait,” ujar Neil.

Menanggapi  target  dan  penerimaan  yang  disasar  pemerintah  tersebut, Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan otoritas memang perlu melakukan penelusuran dari kondisi riil kekayaan wa jib pajak kaya maupun super kaya yang ada di Tanah  Air. 

Menurutnya, selama ini realisasi penerimaan pajak dari masyarakat kelas ini masih jauh dari potensi. Otoritas pajak, jelasnya, memang cukup leluasa memanfaatkan data dari  pihak  ketiga. 

Namun Direktorat  Jenderal  Pajak  seolah  kurang  maksimal  dalam  memanfaatkan  data  yang  tersaji,  misalnya  terkait  dengan  program Pengampunan Pajak atau Tax  Amnesty  2016.

“Deklarasi  harta  wajib  pajak  yang  menyimpan  asetnya  di  luar  negeri sudah optimal belum follow up-nya?  [Karena]  realisasi  secara  nominal  yang  masih  tergolong  rendah jika dibandingkan dengan nilai  deklarasi  harta  saat  tax amnesty,”  ujarnya. 

Sumber: ortax.org (Harian Bisnis Indonesia), Rabu 21 Juli 2021

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only