Restorative Justice bagi Pengemplang Pajak

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR_ saat ini sedang melakukan amandemen kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). UUini bertujuan untuk menyempurnakan administrasi perpajakan.

Salah satu pembahasan yang cukup mengundang perhatian adalah penghentian penuntutan pidana para pengemplang pajak dan lebih diutamakan kepada sanksi pembayaran administrasi. Pemerintah berharap, penghentian penuntutan pidana akan menjamin keberlangsungan penerimaan negara di masa akan datang.

Pada dasarnya, tindak pidana pajak berlandaskan asas ultimum remedium, yang berarti bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Dalam UU KUP juga disebutkan bahwa pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak karakteristik hukum pidana dalam konteks ultimum remedium ini dapat diartikan bahwa keberadaan pengaturan sanksi pidana perpajakan diletakkan atau diposisikan sebagai sanksi terakhir.

Artinya, pemberian sanksi kepada wajib pajak mengutamakan pemberian sanksi administratif atau sanksi perdata. Jika sanksi administratif belum mencukupi maka pemberian sanksi pidana baru dapat dipertimbangkan sebagai senjata terakhir.

Otoritas Pajak Indonesia pun sudah mengadopsi pendekatan ini sehingga lebih merupakan pendekatan kolaboratif. Pendekatan ini akan membentuk suatu proses interaksi antara negara dalam hal ini petugas pajak atau fiskus dengan Wajib Pajak, sehingga tidak tercipta lagi sebuah hubungan yang bersifat kaku. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan memulihkan kembali keseimbangan di dalam masyarakat.

Konsep restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri.

Tony F. Marshall (1998) berpendapat bahwa restorative justice adalah “suatu proses di mana pihak-pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu menyelesaikan secara kolektif bagaimana menangani akibat pelanggaran dan implikasinya di masa depan.”

Tujuan keadilan restoratif adalah untuk memenuhi kebutuhan korban, dan mengintegrasikan kembali pelaku ke dalam masyarakat. Keadilan restoratif juga memungkinkan pelaku untuk memikul tanggung jawab atas tindakan mereka, menciptakan kembali komunitas kerja yang mendukung korban dan rehabilitasi pelaku, dan menghindari eskalasi keadilan hukum.

Hukum pajak bersifat publik, yaitu mengatur hubungan antara negara dengan orang atau badan hukum yang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Inti dari tindak pidana perpajakan dapat dilihat dalam UU KUP, yaitu jika orang atau badan hukum menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Dengan demikian, berlaku azas lex specialis derogat legi generalis, yaitu berlakunya sebuah undang-undang tindak pidana khusus di bidang perpajakan dan kekhususan perbuatan pidana di bidang perpajakan,

Modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan dapat berupa pembuatan faktur pajak tidak berdasarkan transaksi sebenarnya; melakukan pemungutan pajak tetapi tidak setor ke negara; wajib pajak tidak melaporkan harta kekayaannya di Surat Pemberitahuan (SPT) secara tidak benar, dan lain-lain.

Kasus pidana perpajakan

Kejahatan dengan berbagai modus perpajakan masih terus berlangsung. Dengan perubahan paradigma tersbut, maka apakah berarti para pengemplang pajak dapat bebas berkeliaran dan tanpa adanya ancaman penuntutan pidana? Berdasarkan perubahan kelima UU KUP mengarah kepada penegakan hukum pidana di bidang perpajakan, mengamanatkan restorative justice dalam perpajakan dilakukan dengan penyelesaian yang mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan atau keuangan negara.

Jika kasus pidana pajak terus diajukan ke pengadilan, maka terdapat kemungkinan bahwa terdapat negara tidak lagi fokus terhadap pemulihan kerugian negara. Meskipun terdapat pidana denda dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pidana denda bisa diganti dengan pidana kurungan oleh putusan hakim. Hal ini merupakan kekuasaan mutlak hakim.

Terdapat beberapa kasus kerugian negara yang mencapai pidana denda ratusan milyar rupiah bisa diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Sementara itu, jaksa sering tidak dapat mengeksekusi kerugian negara dan berarti bahwa tidak ada pemulihan kerugian negara dari proses penyidikan.

Sementara itu, jika Wajib Pajak telah dipidana karena melakukan tindak pidana pajak berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap maka kerugian negara tidak dapat dipulihkan lagi. Kerugian negara tidak dapat ditagihkan lagi kepada Wajib Pajak yang telah menjalani hukuman.

Oleh karena itu, berlandaskan asas ultimum remedium maka penegakan hukum perpajakan berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Jika Wajib Pajak melakukan penyelesaian kerugian negara dilakukan sebelum berkas perkara dilimpahkan ke pengadilan, maka terdapat kekuasaan Menteri Keuangan dapat meminta atau memberikan saran kepada Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (deponering).

Penghentian penyidikan dapat dilakukan jika Wajib Pajak membayar kerugian negara. Akan tetapi, jika dilakukan pembayaran kerugian negara, maka persidangan tetap dilanjutkan. Pembayaran akan dijadikan pertimbangan terdakwa untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.

Selain itu, untuk mencegah kerugian negara lebih lanjut, maka dilakukan penguatan wewenang penyidik yang bertujuan untuk melakukan pemulihan asset (asset recovery). Hal ini dilakukan dengan memperkuat wewenang Penyidik Pajak untuk mengamankan harta kekayaan sejak dini dengan melakukan penyitaan harta kekayaan dalam penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Bahkan juga jika terdapat penyidikan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan pidana asal tindak pidana di bidang perpajakan.

Dengan penerapan restorative justice serta perluasan basis pajak Pajak Pertambahan Nilai, maka jelaslah bahwa Undang-undang Perpajakan di Indonesia fokus kepada fungsinya untuk mencari sebanyak-banyaknya pendapatan bagi negara. Apalagi dengan rencana pelaksanaan program Pengampunan Pajak (tax amnesty) Jilid II dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini.

Kebijakan ini diputuskan mengingat sulitnya mencari sumber penerimaan negara dalam kondisi resesi selama dua tahun terakhir yang membutuhkan pemulihan ekonomi nasional.

Sumber: Harian Kontan Kamis 29 Jul 2021 hal 15

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only