DJP: Wajib Pajak Belum Diaudit Memiliki Risiko Kepatuhan Lebih Tinggi

Wajib pajak berisiko tinggi merupakan prioritas pengawasan dan pemeriksaan Ditjen Pajak (DJP). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Rabu (8/9/2021).

Berdasarkan data DJP, wajib pajak badan berbentuk perseroan terbatas (PT) yang laporan keuangannya belum diaudit memiliki kecenderungan untuk ditetapkan sebagai wajib pajak berisiko tinggi oleh compliance risk management (CRM) pemeriksaan dan pengawasan.

“Ada 65% wajib pajak risiko tinggi yang belum dilakukan audit [laporan keuangannya]. Boleh jadi mereka ini ada kesalahan di sana karena ketidakmengertian atau mungkin kesengajaan,” ujar Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP Dasto Ledyanto.

Berdasarkan analisis CRM atas data tahun pajak 2019, 65% PT dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi memiliki laporan keuangan yang belum diaudit. Sisanya, yakni 35% PT dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi memiliki laporan keuangan yang sudah diaudit.

Dari persentase tersebut, wajib pajak yang belum diaudit memiliki risiko kepatuhan sekitar 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wajib pajak dengan laporan keuangan sudah diaudit. Dengan demikian, audit atas laporan keuangan menjadi salah satu faktor risiko kepatuhan wajib pajak.

Sesuai dengan ketentuan dalam UU PT, salah satu faktor yang menjadi syarat laporan keuangan perseroan harus diserahkan kepada akuntan publik untuk diaudit adalah kepemilikan aset dan/atau jumlah peredaran usaha dengan nilai minimal Rp50 miliar.

Selain mengenai wajib pajak berisiko tinggi, ada pula bahasan terkait dengan pengecualian dari ketentuan pengenaan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final untuk 2 kelompok penerima penghasilan bunga obligasi.

Wajib Pajak Risiko Tinggi

Meskipun sudah masuk kelompok perusahaan yang wajib menyerahkan laporan keuangannya kepada akuntan publik untuk diaudit, masih banyak PT belum melakukannya. Padahal, dengan adanya laporan keuangan dan laporan auditor independent, potensi koreksi fiskal dapat dikurangi

“Kita tadi melihat, untuk yang risiko tinggi lebih banyak yang belum diaudit. Ada korelasi positif menunjukkan yang sudah diaudit lebih mendekati kepatuhan dalam konteks populasi [wajib pajak] di atas Rp50 miliar,” ujar Direktur Data dan Informasi Perpajakan DJP Dasto Ledyanto.

Pengecualian dari Pengenaan PPh Final Bunga Obligasi

Sesuai dengan Pasal 3 PP 91/2021, ketentuan pengenaan PPh yang bersifat final itu tidak berlaku untuk 2 kelompok penerima bunga obligasi.

Pertama, wajib pajak dana pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disahkan menteri keuangan atau telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan serta memenuhi persyaratan Pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh dan peraturan pelaksanaannya.

Kedua, wajib pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia. Adapun penghasilan bunga obligasi yang diterima wajib pajak ini dikenai PPh berdasarkan pada tarif umum UU PPh. (DDTCNews)

Pembebasan PPN LNG

Pemberian fasilitas pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap impor dan/atau penyerahan liquified natural gas (LNG) tanpa menggunakan surat keterangan bebas (SKB).

“Pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam …. Pasal 3 ayat (2) … huruf l [LNG], dilakukan tanpa menggunakan SKB PPN,” bunyi penggalan Pasal 4 ayat (2) PMK 115/2021.

Jika PPN terutang atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis telah dipungut atau dibayar, berlaku 3 ketentuan.

DPR mengesahkan RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (P2 APBN 2020) menjadi UU. Keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada Selasa (7/9/2021).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah senantiasa menjaga komitmen tata kelola keuangan yang baik. Pemerintah juga akan terus menindaklanjuti rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan DPR.

RUU HKPD

Kementerian Keuangan menyebutkan RUU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) memiliki empat pilar yang di antaranya bertujuan untuk memperkuat kapasitas mengumpulkan pajak dan retribusi daerah.

Direktur Dana Transfer Khusus Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kemenkeu Putut Hari Satyaka mengatakan pilar kedua dari RUU HKPD adalah memperkuat kemampuan daerah dalam memungut pajak.

“Jadi perlu lakukan penguatan local taxing power. Itu akan berikan peningkatan akuntabilitas karena ada hubungan langsung antara taxpayer dan pemerintah daerah yang memungut pajak,” katanya. (DDTCNews/Kontan)

Pembaruan Regulasi Pajak

Pembaruan regulasi adalah salah satu dari 5 pilar reformasi pajak guna menciptakan penerimaan negara yang lebih optimal. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta dukungan kepada DPR dalam proses penyempurnaan peraturan di bidang perpajakan.

“Pada bagian regulasi perpajakan kami mohon dukungan DPR untuk terus menyempurnakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,” ujar Sri Mulyani. 

Sumber: news.ddtc.co.id

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp WA only